oleh
Pakde Azir

JILBAB sering dipandang sebagai identitas Islam. Pandangan seperti
ini memang tidak terlalu salah, karena hampir semua orang tahu bahwa
Islam mewajibkan para wanita (muslimah) memakai jilbab.
Perdebatan
biasanya hanya berkutat di seputar fungsi jilbab dan hubungannya dengan
etika. Dalam pandangan orang, jilbab sering diartikan sebagai sesuatu
yang eksklusif dan tidak bisa menerima sekaligus diterima dalam suatu
perbedaan.
Bahkan pada sebagian orang yang tidak tahu-menahu atau pun cenderung
blank, jilbab dianggap sebagai
trouble maker.
Penerapan aturan wajib memakai jilbab bagi wanita di Aceh dan
pelarangan wanita berjilbab di beberapa negara adalah contoh bagaimana
dua kubu yang saling bertentangan dan berseberangan saling beradu
pendapat. Tetapi kebenaran tetaplah kebenaran meskipun ia keluar dari
mulut durjana.

Istilah
jilbab di Indonesia pada awalnya dikenal sebagai
kerudung
untuk menutupi kepala (rambut) wanita. Di beberapa negara Islam,
pakaian sejenis jilbab dikenal dengan beberapa istilah seperti
chador di Iran,
pardeh di India dan Pakistan,
milayat di Libya,
abaya di Irak,
charshaf di Turki, dan
hijâb di beberapa negara Arab-Afrika seperti di Mesir, Sudan, dan Yaman.
Terlepas
dari istilah yang digunakan, sebenarnya konsep hijâb bukanlah “milik”
Islam saja. Dan bukan satu-satunya agama yang mewajibkan jilbab. Jilbab
sudah diwajibkan pada setiap periode Kenabian.

Dalam kitab Taurat, kitab suci agama Yahudi, terdapat beberapa istilah yang semakna dengan
hijâb seperti
tif’eret. Cukup membuktikan jika hal itu pernah diwajibkan pada masa Nabi Musa.
Demikian
pula dalam kitab Injil yang merupakan kitab suci agama Nasrani (Kristen
dan Katolik) juga ditemukan istilah semakna. Misalnya istilah
zammah, re’alah, zaif dan
mitpahat. Lagi-lagi membuktikan bahwa menutup aurat adalah sesuatu yang diwajibkan pada Masa Nabi Isa a.s.
Menurut Eipstein, seperti dikutip Nasaruddin Umar dalam tulisannya, hijâb sudah dikenal sebelum adanya agama-agama
Samawi
(Yahudi dan Nasrani). Bahkan Nasaruddin Umar menyebutkan bahwa pakaian
yang menutupi kepala dan tubuh wanita itu sudah menjadi wacana dalam
Code Bilalama (3.000 sM), kemudian berlanjut di dalam
Code Hammurabi (2.000 sM) dan
Code Asyiria (1.500 sM). Ketentuan penggunaan jilbab bahkan sudah dikenal di beberapa kota tua seperti Mesopotamia, Babilonia, dan Asyiria.

Alhasil,
perdebatan tentang jilbab sendiri sudah terjawab pada poin-poin di
atas. Ada sesuatu yang luar biasa besar tentang JILBAB, sebuah misteri
sekaligus keajaiban yang hanya bisa dibaca oleh orang yang bukan sekedar
berakal, melainkan juga meng-gunakan akalnya itu. Fakta menunjukkan :

1. Bunda Theresa (Agnes Gonxha), salah satu tokoh panutan umat Kristen dan Katolik selalu memakai jilbab dalam hidupnya.
2. Rabbi Rachel, salah satu Rabbi yang sangat dihormati oleh umat Yahudi juga selalu menggunakan penutup kepala dan
longdress dalam kesehariannya, terutama pada saat memimpin prosesi keagamaan.

3.
Dewi Kwan Im (Avalokitesvara Bodhisattva), yang dikenal sebagai Buddha
dengan 20 ajaran welas asih, juga digambarkan memakai pakaian suci yang
panjang menutup seluruh tubuh dengan kerudung berwarna putih menutup
kepala.
4. Orang-orang India yang sebagian besar penganut ajaran
Hindu. Pakaian yang panjang sampai menyentuh mata kaki dengan kerudung
menutupi kepala adalah pakaian khas yang dipakai sehari-hari.

5.
Pakaian orang-orang Eropa dan Amerika sejak abad pertengahan. Pakaian
panjang yang anggun dengan penutup kepala yang khas itu tidak hanya
dipakai oleh kerabat kerajaan dan kaum borjuis, namun juga dipakai oleh
rakyat kebanyakan. Bahkan style fashionera ini telah menginspirasi para
perancang busana saat ini untuk dipakai pada acara-acara agung seperti
pernikahan.
6. Begitu juga dalam tradisi masyarakat Jepang dan
tradisi-tradisi sebagian besar kelompok masyarakat di bumi yang telah
memiliki peradaban.
SEJARAH JILBAB DI INDONESIA

Penutup
kepala yang kini menjadi pemandangan sehari-hari adalah fenomena baru
di Indonesia sejak masuknya Islam sekitar 1300 tahun yang lalu ke
Nusantara. Namanya kerudung, kudung, atau istilah lain menurut logat
daerah. Ibu negara kita yang pertama, Fatmawati, selalu tampil dengan
kerudung pada setiap acara resmi.
Istilah “jilbab” berasal dari
kata “hijab”, yang dipopulerkan oleh kelompok atau gerakan sosial
keagamaan sekitar tahun 1980-an. Sebelumnya, muslimah Indonesia hanya
mengenal “kerudung kapstok” yaitu busana muslimah tradisional yang
populer dipakai di kalangan pesantren, madrasah, majlis taklim dan
organisasi-organisasi Islam.
Kerudung Kapstok

Model
ini tidak mentradisi di kalangan gadis dan remaja. Model kapstok ini
khas pakaian para perempuan di lingkungan pendidikan dan organisasi
Islam seperti pesantren, madrasah, majlis-majils taklim dan ormas-ormas
Islam perempuan seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Al-Isryad,
Persatuan Islam, dan lain-lain. Yang pupoler di luar lingkungan itu
adalah rok pendek dan tanpa kerudung sebagai pakaian umum ala Barat
peninggalan Belanda.
Kerudung Ideologis

Memasuki
tahun 1980-an, wajah busana perempuan muslim berubah total. Busana
muslimah mengalami perubahan bentuk dan model. Perintisnya adalah para
perempuan aktivis Islam di perkotaan, mahasiswa, dan para pelajar. Cukup
mengejutkan, secara tiba-tiba, di awal tahun 1980-an, berbagai kelompok
perempuan pelajar dan mahasiswa di perkotaan mengenakan busana muslimah
dengan jilbab yang tertutup rapi, dengan rambut sama sekali tidak
kelihatan. Berawal dari Masjid Salman ITB kemudian semarak di kalangan
pelajar, mahasiswa dan aktifis Islam di Bandung, dan kemudian melalui
jaringan masjid kampus menyebar ke berbagai kota seluruh Indonesia tahun
1990-an.

Ada empat hal yang melekat dengan model busana muslimah sebagai ciri khas era ini:
Pertama, pemakaiannya memenuhi kriteria norma Islam.
Kedua,
pemakaiannya didasari kesadaran beragama. Mereka yang tergerak hatinya
memakai busana muslimah pada tahun-tahun tersebut karena didorong oleh
kesadaran beragama yaitu perasaan ingin lebih shalehah dan beragama
secara benar. Islamisasi busana sangat ekstensif pada periode itu dalam
konteks era kebangkitan Islam di Indonesia.
Ketiga, kemunculannya merupakan gelombang perlawanan kultural terhadap hegemoni asing, dan dengan demikian,
keempat, bersifat ideologis.
Kerudung Kelas Menengah

Memasuki
tahun 1990-an fenomena busana muslimah menyebar semakin luas lagi. Pada
periode ini, busana muslimah masuk ke berbagai kelompok politik,
pengusaha, artis selebritis, seniman, kantor-kantor pemerintah dan
swasta, lembaga politik, kaum profesional dan lainnya. Tahun 1990-an
kita menyaksikan jilbab dipakai oleh perempuan berkelas dengan
mengendarai mobil mewah, dipakai oleh pengusaha, artis selebritis,
pejabat negara, kaum profesional, aktifis sosial politik dan seterusnya.
Kerudung Gaul

Dekade tahun 2000-an, pemakaian busana jilbab menjadi
trendy, hampir
merata di seluruh Indonesia. Belakangan ini, sangat mudah menemukan
perempuan berjilbab di berbagai tempat umum. Semudah melihat mobil,
jilbab pun ada di mana-mana. Perempuan berjilbab mudah ditemukan di
stasiun, terminal, bioskop, tempat hiburan, lapangan olah raga,
mall-mall, lembaga politik, kampus, tempat kerja, kantor-kantor,
kelompok arisan, pasar dan bahkan — ini yang paling menarik — di kolam
renang. Sebuah pemandangan sosial yang tidak terbayangkan pada tahun
1980-an. Bila periode 1980-an adalah periode perintisan, periode 1990-an
adalah periode peneguhan dan perluasan, maka periode 2000-an ke sini
adalah periode kultural. Pasca tahun 2000, kerudung sudah menjadi kultur
masyarakat muslimah Indonesia.

Belakangan
busana muslimah kultural juga menjadi sangat populer di kalangan
ibu-ibu. Tanpa disadari, di berbagai masyarakat, ibu-ibu memakai busana
muslimah sebagai pakaian formal untuk berbagai acara:
pertemuan-pertemuan resmi, perkumpulan, arisan, pertemuan PKK dan Darma
Wanita, acara sosial kemasyarakatan, acara keagamaan, bahkan untuk
tampil dalam panggung kesenian dan berjoget dangdut dalam acara
Agustusan. Inilah jilbab gaul ibu-ibu! Begitu populernya, sering ibu-ibu
merasa malu dan tidak percaya diri bila tidak mengenakan jilbab dalam
acara-acar di luar rumah karena mayoritas lingkungannya memakainya.
Dalam berbagai acara seperti rapat, pelatihan, pertemuan resmi dan tidak
resmi, sungguh unik dan menarik, jilbab sudah menjadi
“the unwritten agreement” (kesepakatan tidak tertulis).
Faktanya
sejak dahulu sampai saat ini jilbab tidak hanya menjadi bagian dari
dinamika peradaban, namun telah menjadi pertanda keagungan, kebaikan dan
ketaatan terhadap sebuah keyakinan dari seorang wanita.
Lalu
atas dasar apa kalian meninggalkan sebuah mahkota keagungan yang justru
dilakukan oleh orang terbaik dari kalangan kalian saja? Apakah kalian
hendak berbantah-bantahan ketika semua sudah terang benderang?
Jilbab
dengan segala fungsi dan keutamaannya betul-betul menjadi sebuah
pakaian kebesaran wanita yang tak bisa luntur oleh zaman meskipun orang
kafir, orang zalim, dan orang munafik membencinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar