Rabu, 13 Juni 2012

JILBAB : ANTARA SYAR’IY DAN TRENDY

oleh Pakde Azir

JILBAB sering dipandang sebagai identitas Islam. Pandangan seperti ini memang tidak terlalu salah, karena hampir semua orang tahu bahwa Islam mewajibkan para wanita (muslimah) memakai jilbab.
Perdebatan biasanya hanya berkutat di seputar fungsi jilbab dan hubungannya dengan etika. Dalam pandangan orang, jilbab sering diartikan sebagai sesuatu yang eksklusif dan tidak bisa menerima sekaligus diterima dalam suatu perbedaan.
Bahkan pada sebagian orang yang tidak tahu-menahu atau pun cenderung blank,  jilbab dianggap sebagai trouble maker.  Penerapan aturan wajib memakai jilbab bagi wanita di Aceh dan pelarangan wanita berjilbab di beberapa negara adalah contoh bagaimana dua kubu yang saling bertentangan dan berseberangan saling beradu pendapat. Tetapi kebenaran tetaplah kebenaran meskipun ia keluar dari mulut durjana.

Istilah jilbab  di Indonesia pada awalnya dikenal sebagai kerudung  untuk menutupi kepala (rambut) wanita. Di beberapa negara Islam, pakaian sejenis jilbab dikenal dengan beberapa istilah seperti chador  di Iran, pardeh  di India dan Pakistan, milayat  di Libya, abaya  di Irak, charshaf  di Turki, dan hijâb  di beberapa negara Arab-Afrika seperti di Mesir, Sudan, dan Yaman.
Terlepas dari istilah yang digunakan, sebenarnya konsep hijâb bukanlah “milik” Islam saja. Dan bukan satu-satunya agama yang mewajibkan jilbab. Jilbab sudah diwajibkan pada setiap periode Kenabian.
Dalam kitab Taurat, kitab suci agama Yahudi, terdapat beberapa istilah yang semakna dengan hijâb  seperti tif’eret.  Cukup membuktikan jika hal itu pernah diwajibkan pada masa Nabi Musa.
Demikian pula dalam kitab Injil yang merupakan kitab suci agama Nasrani (Kristen dan Katolik) juga ditemukan istilah semakna. Misalnya istilah zammah, re’alah, zaif  dan mitpahat.  Lagi-lagi membuktikan bahwa menutup aurat adalah sesuatu yang diwajibkan pada Masa Nabi Isa a.s.
Menurut Eipstein, seperti dikutip Nasaruddin Umar dalam tulisannya, hijâb sudah dikenal sebelum adanya agama-agama Samawi  (Yahudi dan Nasrani). Bahkan Nasaruddin Umar menyebutkan bahwa pakaian yang menutupi kepala dan tubuh wanita itu sudah menjadi wacana dalam Code Bilalama  (3.000 sM), kemudian berlanjut di dalam Code Hammurabi  (2.000 sM) dan Code Asyiria  (1.500 sM). Ketentuan penggunaan jilbab bahkan sudah dikenal di beberapa kota tua seperti Mesopotamia, Babilonia, dan Asyiria.

Alhasil, perdebatan tentang jilbab sendiri sudah terjawab pada poin-poin di atas. Ada sesuatu yang luar biasa besar tentang JILBAB, sebuah misteri sekaligus keajaiban yang hanya bisa dibaca oleh orang yang bukan sekedar berakal, melainkan juga meng-gunakan akalnya itu. Fakta menunjukkan :
1. Bunda Theresa (Agnes Gonxha), salah satu tokoh panutan umat Kristen dan Katolik selalu memakai jilbab dalam hidupnya.
2. Rabbi Rachel, salah satu Rabbi yang sangat dihormati oleh umat Yahudi juga selalu menggunakan penutup kepala dan longdress  dalam kesehariannya, terutama pada saat memimpin prosesi keagamaan.
3. Dewi Kwan Im (Avalokitesvara Bodhisattva), yang dikenal sebagai Buddha dengan 20 ajaran welas asih, juga digambarkan memakai pakaian suci yang panjang menutup seluruh tubuh dengan kerudung berwarna putih menutup kepala.
4. Orang-orang India yang sebagian besar penganut ajaran Hindu. Pakaian yang panjang sampai menyentuh mata kaki dengan kerudung menutupi kepala adalah pakaian khas yang dipakai sehari-hari.
5. Pakaian orang-orang Eropa dan Amerika sejak abad pertengahan. Pakaian panjang yang anggun dengan penutup kepala yang khas itu tidak hanya dipakai oleh kerabat kerajaan dan kaum borjuis, namun juga dipakai oleh rakyat kebanyakan. Bahkan style fashionera ini telah menginspirasi para perancang busana saat ini untuk dipakai pada acara-acara agung seperti pernikahan.
6. Begitu juga dalam tradisi masyarakat Jepang dan tradisi-tradisi sebagian besar kelompok masyarakat di bumi yang telah memiliki peradaban.

SEJARAH JILBAB DI INDONESIA
Penutup kepala yang kini menjadi pemandangan sehari-hari adalah fenomena baru di Indonesia sejak masuknya Islam sekitar 1300 tahun yang lalu ke Nusantara. Namanya kerudung, kudung, atau istilah lain menurut logat daerah. Ibu negara kita yang pertama, Fatmawati, selalu tampil dengan kerudung pada setiap acara resmi.
Istilah “jilbab” berasal dari kata “hijab”, yang dipopulerkan oleh kelompok atau gerakan sosial keagamaan sekitar tahun 1980-an. Sebelumnya, muslimah Indonesia hanya mengenal “kerudung kapstok” yaitu busana muslimah tradisional yang populer dipakai di kalangan pesantren, madrasah, majlis taklim dan organisasi-organisasi Islam.

Kerudung Kapstok
Model ini tidak mentradisi di kalangan gadis dan remaja. Model kapstok ini khas pakaian para perempuan di lingkungan pendidikan dan organisasi Islam seperti pesantren, madrasah, majlis-majils taklim dan ormas-ormas Islam perempuan seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Al-Isryad, Persatuan Islam, dan lain-lain. Yang pupoler di luar lingkungan itu adalah rok pendek dan tanpa kerudung sebagai pakaian umum ala Barat peninggalan Belanda.

Kerudung Ideologis
Memasuki tahun 1980-an, wajah busana perempuan muslim berubah total. Busana muslimah mengalami perubahan bentuk dan model. Perintisnya adalah para perempuan aktivis Islam di perkotaan, mahasiswa, dan para pelajar. Cukup mengejutkan, secara tiba-tiba, di awal tahun 1980-an, berbagai kelompok perempuan pelajar dan mahasiswa di perkotaan mengenakan busana muslimah dengan jilbab yang tertutup rapi, dengan rambut sama sekali tidak kelihatan. Berawal dari Masjid Salman ITB kemudian semarak di kalangan pelajar, mahasiswa dan aktifis Islam di Bandung, dan kemudian melalui jaringan masjid kampus menyebar ke berbagai kota seluruh Indonesia tahun 1990-an.
Ada empat hal yang melekat dengan model busana muslimah sebagai ciri khas era ini: Pertama, pemakaiannya memenuhi kriteria norma Islam. Kedua, pemakaiannya didasari kesadaran beragama. Mereka yang tergerak hatinya memakai busana muslimah pada tahun-tahun tersebut karena didorong oleh kesadaran beragama yaitu perasaan ingin lebih shalehah dan beragama secara benar. Islamisasi busana sangat ekstensif pada periode itu dalam konteks era kebangkitan Islam di Indonesia. Ketiga, kemunculannya merupakan gelombang perlawanan kultural terhadap hegemoni asing, dan dengan demikian, keempat, bersifat ideologis.

Kerudung Kelas Menengah
Memasuki tahun 1990-an fenomena busana muslimah menyebar semakin luas lagi. Pada periode ini, busana muslimah masuk ke berbagai kelompok politik, pengusaha, artis selebritis, seniman, kantor-kantor pemerintah dan swasta, lembaga politik, kaum profesional dan lainnya. Tahun 1990-an kita menyaksikan jilbab dipakai oleh perempuan berkelas dengan mengendarai mobil mewah, dipakai oleh pengusaha, artis selebritis, pejabat negara, kaum profesional, aktifis sosial politik dan seterusnya.

Kerudung Gaul
Dekade tahun 2000-an, pemakaian busana jilbab menjadi trendy,  hampir merata di seluruh Indonesia. Belakangan ini, sangat mudah menemukan perempuan berjilbab di berbagai tempat umum. Semudah melihat mobil, jilbab pun ada di mana-mana. Perempuan berjilbab mudah ditemukan di stasiun, terminal, bioskop, tempat hiburan, lapangan olah raga, mall-mall, lembaga politik, kampus, tempat kerja, kantor-kantor, kelompok arisan, pasar dan bahkan — ini yang paling menarik — di kolam renang. Sebuah pemandangan sosial yang tidak terbayangkan pada tahun 1980-an. Bila periode 1980-an adalah periode perintisan, periode 1990-an adalah periode peneguhan dan perluasan, maka periode 2000-an ke sini adalah periode kultural. Pasca tahun 2000, kerudung sudah menjadi kultur masyarakat muslimah Indonesia.
Belakangan busana muslimah kultural juga menjadi sangat populer di kalangan ibu-ibu. Tanpa disadari, di berbagai masyarakat, ibu-ibu memakai busana muslimah sebagai pakaian formal untuk berbagai acara: pertemuan-pertemuan resmi, perkumpulan, arisan, pertemuan PKK dan Darma Wanita, acara sosial kemasyarakatan, acara keagamaan, bahkan untuk tampil dalam panggung kesenian dan berjoget dangdut dalam acara Agustusan. Inilah jilbab gaul ibu-ibu! Begitu populernya, sering ibu-ibu merasa malu dan tidak percaya diri bila tidak mengenakan jilbab dalam acara-acar di luar rumah karena mayoritas lingkungannya memakainya. Dalam berbagai acara seperti rapat, pelatihan, pertemuan resmi dan tidak resmi, sungguh unik dan menarik, jilbab sudah menjadi “the unwritten agreement”  (kesepakatan tidak tertulis).
Faktanya sejak dahulu sampai saat ini jilbab tidak hanya menjadi bagian dari dinamika peradaban, namun telah menjadi pertanda keagungan, kebaikan dan ketaatan terhadap sebuah keyakinan dari seorang wanita.
Lalu atas dasar apa kalian meninggalkan sebuah mahkota keagungan yang justru dilakukan oleh orang terbaik dari kalangan kalian saja? Apakah kalian hendak berbantah-bantahan ketika semua sudah terang benderang?
Jilbab dengan segala fungsi dan keutamaannya betul-betul menjadi sebuah pakaian kebesaran wanita yang tak bisa luntur oleh zaman meskipun orang kafir, orang zalim, dan orang munafik membencinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Senandung Rindu untuk Ibu

Ibu.. Ribuan hari berlalu Tanpa hadirmu Namun rindu Masih menderu Penuhi ruang kalbu Dan netraku Masih pantulkan kelabu Sekalipun langit itu...