Sabtu, 17 Desember 2011

Menengadah, Terhujam Resah

Disela lambat masa, diri menengadah
Pada atap bumi, menghadapkan wajah
Tepat saat goresan warnanya berubah
Membuka jalan bagi rintik tertumpah

Menyembunyikan kelopak yang kalah
Oleh paksaan derai duka tertumpah
Air dipelupuk mata telah rasakan jengah
Begitu ingin turun tanpa ada penyanggah

Andai tercipta kaca yang tak kenal pecah
Tuk dipahat menjadi kotak luka merebah
Menyimpan banyaknya yang tak terjumlah
Berjajar melebar siap memuntahkan darah

Setelah rapat, ditata menjauh dari langkah
Hingga bagi mereka, hati bukan lagi rumah
Satu persatu pedih atas nama luka pun punah
Setidaknya merelakan letak altarnya berpindah

Tak bersimpuh diantara pekat rasa menyerah
Selamanya menghilang tanpa pernah menjamah
Tiada kembali meski pintu-pintu nurani lengah
Walau batas kekuatan batin musnah setengah

Kecamuk jiwa ini, adakah bentuk dari amarah
Atau sekedar bayang nyata memantulkan lemah
Tak mengharap dengan tangis paras bersimbah
Tetapi lenyap seketika logika bagai tersesat arah

Hujan metoreh lukisan samar senyum ramah
Diatas butir pilu yang tiada henti membuncah
Biar terlihat bahwa langit yang menangis gundah
Menutupi pelataran kalbuku yang terhujam resah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Senandung Rindu untuk Ibu

Ibu.. Ribuan hari berlalu Tanpa hadirmu Namun rindu Masih menderu Penuhi ruang kalbu Dan netraku Masih pantulkan kelabu Sekalipun langit itu...