Kamis, 08 Maret 2012

DOKUMENTASI PUISI W.S. RENDRA

oleh Pakde Azir 

WS Rendra (Willibrordus Surendra Bawana Rendra) lahir di Solo, Jawa Tengah, 7 November 1935 — meninggal di Depok, Jawa Barat, 6 Agustus 2009, adalah penyair ternama yang kerap dijuluki sebagai "Burung Merak". Terlahir dari pasangan R. Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo dan Raden Ayu Catharina Ismadillah. Ayahnya seorang guru Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa pada sekolah Katolik di Solo disamping sebagai dramawan tradisional; sedangkan ibunya adalah penari serimpi di keraton Surakarta.
Rendra mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta pada tahun 1967. Ketika kelompok teaternya kocar-kacir karena tekanan politik, kemudian ia mendirikan Bengkel Teater Rendra  di Depok, pada bulan Oktober 1985.
Bakat sastra Rendra sudah mulai terlihat ketika ia duduk di bangku SMP. Saat itu ia sudah mulai menunjukkan kemampuannya dengan menulis puisi, cerita pendek dan drama untuk berbagai kegiatan sekolahnya. Bukan hanya menulis, ternyata ia juga piawai di atas panggung. Ia mementaskan beberapa dramanya, dan terutama tampil sebagai pembaca puisi yang sangat berbakat.
Ia pertama kali mempublikasikan puisinya di media massa pada tahun 1952 melalui majalah Siasat. Setelah itu, puisi-puisinya pun lancar mengalir menghiasi berbagai majalah pada saat itu seperti Kisah, Seni, Basis, Konfrontasi, dan Siasat Baru. Hal itu terus berlanjut seperti terlihat dalam majalah-majalah pada dekade selanjutnya, terutama majalah tahun 60-an dan tahun 70-an.
Kaki Palsu  adalah drama pertamanya, dipentaskan ketika ia di SMP, dan Orang-Orang di Tikungan Jalan  adalah drama pertamanya yang mendapat penghargaan dan hadiah pertama dari Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta. Pada saat itu ia sudah duduk di SMA. Penghargaan itu membuatnya sangat bergairah untuk berkarya. Prof. A. Teeuw, di dalam bukunya Sastra Indonesia Modern II  (1989), berpendapat bahwa dalam sejarah kesusastraan Indonesia modern Rendra tidak termasuk ke dalam salah satu angkatan atau kelompok seperti Angkatan 45, Angkatan 60-an, atau Angkatan 70-an. Dari karya-karyanya terlihat bahwa ia mempunyai kepribadian dan kebebasan sendiri.
Pada usia 24 tahun, ia menemukan cinta pertama pada diri Sunarti Suwandi. Dari wanita yang dinikahinya pada 31 Maret 1959 itu, Rendra mendapat lima anak. Satu di antara muridnya adalah Raden Ayu Sitoresmi Prabuningrat, putri darah biru Keraton Yogyakarta, yang bersedia lebur dalam kehidupan spontan dan urakan di Bengkel Teater. Tugas Jeng Sito — begitu panggilan Rendra kepadanya — antara lain menyuapi dan memandikan keempat anak Rendra-Sunarti. Ujung-ujungnya, ditemani Sunarti, Rendra melamar Sito untuk menjadi istri kedua, dan Sito menerimanya. Satu-satunya kendala datang dari ayah Sito yang tidak mengizinkan putrinya, yang beragama Islam, dinikahi seorang pemuda Katolik. Tapi hal itu bukan halangan besar bagi Rendra. Ia yang pernah menulis Litani dan Mazmur,  serta memerankan Yesus Kristus dalam lakon drama penyaliban Cinta dalam Luka,  memilih untuk mengucapkan dua kalimat syahadat pada hari perkawinannya dengan Sito, 12 Agustus 1970, dengan saksi Taufiq Ismail dan Ajip Rosidi.
Kehidupannya dalam satu atap dengan dua istri menyebabkan Rendra dituding sebagai haus publisitas dan gemar popularitas. Tapi ia menanggapinya dengan ringan saja. Seperti saat ia menjamu seorang rekannya dari Australia di Kebun Binatang Gembira Loka, Yogyakarta. Ketika melihat seekor burung merak berjalan bersama dua betinanya, Rendra berseru sambil tertawa terbahak-bahak, Itu Rendra! Itu Rendra!  Sejak itu, julukan Burung Merak  melekat padanya. Dari Sitoresmi, ia mendapatkan empat anak.
Sang Burung Merak kembali mengibaskan keindahan sayapnya dengan mempersunting Ken Zuraida, istri ketiga yang memberinya dua anak. Tapi pernikahan itu harus dibayar mahal karena sesudah itu, Rendra diceraikan  Sitoresmi pada 1979, dan Sunarti pada tahun 1981.


AKU TULIS PAMPLET INI


        Aku tulis pamplet ini
        karena lembaga pendapat umum
        ditutupi jaring labah-labah
        Orang-orang bicara dalam kasak-kusuk,
        dan ungkapan diri ditekan
        menjadi peng - iya - an
        Apa yang terpegang hari ini
        bisa luput besok pagi
        Ketidakpastian merajalela.
        Di luar kekuasaan kehidupan menjadi teka-teki
        menjadi marabahaya
        menjadi isi kebon binatang
        Apabila kritik hanya boleh lewat saluran resmi,
        maka hidup akan menjadi sayur tanpa garam
        Lembaga pendapat umum tidak mengandung pertanyaan.
        Tidak mengandung perdebatan
        Dan akhirnya menjadi monopoli kekuasaan
        Aku tulis pamplet ini
        karena pamplet bukan tabu bagi penyair
        Aku inginkan merpati pos.
        Aku ingin memainkan bendera-bendera semaphore di tanganku
        Aku ingin membuat isyarat asap kaum Indian.
        Aku tidak melihat alasan
        kenapa harus diam tertekan dan termangu.
        Aku ingin secara wajar kita bertukar kabar.
        Duduk berdebat menyatakan setuju dan tidak setuju.
        Kenapa ketakutan menjadi tabir pikiran ?
        Kekhawatiran telah mencemarkan kehidupan.
        Ketegangan telah mengganti pergaulan pikiran yang merdeka.
        Matahari menyinari airmata yang berderai menjadi api.
        Rembulan memberi mimpi pada dendam.
        Gelombang angin menyingkapkan keluh kesah
              yang teronggok bagai  sampah
              Kegamangan. Kecurigaan.
              Ketakutan.
              Kelesuan.
        Aku tulis pamplet ini
        karena kawan dan lawan adalah saudara
        Di dalam alam masih ada cahaya.
        Matahari yang tenggelam diganti rembulan.
        Lalu besok pagi pasti terbit kembali.
        Dan di dalam air lumpur kehidupan,
        aku melihat bagai terkaca :
        ternyata kita, toh, manusia !
DOA SEORANG SERDADU SEBELUM BERPERANG


                        Tuhanku,
                        WajahMu membayang di kota terbakar
                        dan firmanMu terguris di atas ribuan
                        kuburan yang dangkal
                        Anak menangis kehilangan bapa
                        Tanah sepi kehilangan lelakinya
                        Bukannya benih yang disebar di bumi subur ini
                        tapi bangkai dan wajah mati yang sia-sia
                        Apabila malam turun nanti
                        sempurnalah sudah warna dosa
                        dan mesiu kembali lagi bicara
                        Waktu itu, Tuhanku,
                        perkenankan aku membunuh
                        perkenankan aku menusukkan sangkurku
                        Malam dan wajahku
                        adalah satu warna
                        Dosa dan nafasku
                        adalah satu udara.
                        Tak ada lagi pilihan
                        kecuali menyadari
                        -biarpun bersama penyesalan-
                        Apa yang bisa diucapkan
                        oleh bibirku yang terjajah ?
                        Sementara kulihat kedua lengaMu yang capai
                        mendekap bumi yang mengkhianatiMu
                        Tuhanku
                        Erat-erat kugenggam senapanku
                        Perkenankan aku membunuh
                        Perkenankan aku menusukkan sangkurku

G E R I L Y A


                        Tubuh biru
                        tatapan mata biru
                        lelaki berguling di jalan
                        Angin tergantung
                        terkecap pahitnya tembakau
                        bendungan keluh dan bencana
                        Tubuh biru
                        tatapan mata biru
                        lelaki berguling dijalan
                        Dengan tujuh lubang pelor
                        diketuk gerbang langit
                        dan menyala mentari muda
                        melepas kesumatnya
                        Gadis berjalan di subuh merah
                        dengan sayur-mayur di punggung
                        melihatnya pertama
                        Ia beri jeritan manis
                        dan duka daun wortel
                        Tubuh biru
                        tatapan mata biru
                        lelaki berguling dijalan
                        Orang-orang kampung mengenalnya
                        anak janda berambut ombak
                        ditimba air bergantang-gantang
                        disiram atas tubuhnya
                        Tubuh biru
                        tatapan mata biru
                        lelaki berguling dijalan
                        Lewat gardu Belanda dengan berani
                        berlindung warna malam
                        sendiri masuk kota
                        ingin ikut ngubur ibunya

G U G U R


                  Ia merangkak
                  di atas bumi yang dicintainya
                  Tiada kuasa lagi menegak
                  Telah ia lepaskan dengan gemilang
                  pelor terakhir dari bedilnya
                  Ke dada musuh yang merebut kotanya
                  Ia merangkak
                  di atas bumi yang dicintainya
                  Ia sudah tua
                  luka-luka di badannya
                  Bagai harimau tua
                  susah payah maut menjeratnya
                  Matanya bagai saga
                  menatap musuh pergi dari kotanya
                  Sesudah pertempuran yang gemilang itu
                  lima pemuda mengangkatnya
                  di antaranya anaknya
                  Ia menolak
                  dan tetap merangkak
                  menuju kota kesayangannya
                  Ia merangkak
                  di atas bumi yang dicintainya
                  Belum lagi selusin tindak
                  maut pun menghadangnya.
                  Ketika anaknya memegang tangannya
                  ia berkata :
                  “Yang berasal dari tanah
                  kembali rebah pada tanah.
                  Dan aku pun berasal dari tanah
                  tanah Ambarawa yang kucinta
                  Kita bukanlah anak jadah
                  Kerna kita punya bumi kecintaan.
                  Bumi yang menyusui kita
                  dengan mata airnya.
                  Bumi kita adalah tempat pautan yang sah.
                  Bumi kita adalah kehormatan.
                  Bumi kita adalah juwa dari jiwa.
                  Ia adalah bumi nenek moyang.
                  Ia adalah bumi waris yang sekarang.
                  Ia adalah bumi waris yang akan datang.”
                  Hari pun berangkat malam
                  Bumi berpeluh dan terbakar
                  Kerna api menyala di kota Ambarawa
                  Orang tua itu kembali berkata :
                  “Lihatlah, hari telah fajar !
                  Wahai bumi yang indah,
                  kita akan berpelukan buat selama-lamanya !
                  Nanti sekali waktu
                  seorang cucuku
                  akan menacapkan bajak
                  di bumi tempatku berkubur
                  kemudian akan ditanamnya benih
                  dan tumbuh dengan subur
                  Maka ia pun berkata :
                  “Alangkah gemburnya tanah di sini!”
                  Hari pun lengkap malam
                  ketika menutup matanya

HAI, KAMU !


            Luka-luka di dalam lembaga,
            intaian keangkuhan kekerdilan jiwa,
            noda di dalam pergaulan antar manusia,
            duduk di dalam kemacetan angan-angan.
            Aku berontak dengan memandang cakrawala.
            Jari-jari waktu menggamitku.
            Aku menyimak kepada arus kali.
            Lagu margasatwa agak mereda.
            Indahnya ketenangan turun ke hatiku.
            Lepas sudah himpitan-himpitan yang mengekangku.

MAZMUR MAWAR


Kita muliakan Nama Tuhan
Kita muliakan dengan segenap mawar
Kita muliakan Tuhan yang manis,
indah, dan penuh kasih sayang
Tuhan adalah serdadu yang tertembak
Tuhan berjalan di sepanjang jalan becek
sebagai orang miskin yang tua dan bijaksana
dengan baju compang-camping
membelai kepala kanak-kanak yang lapar.
Tuhan adalah Bapa yang sakit batuk
Dengan pandangan arif dan bijak
membelai kepala para pelacur
Tuhan berada di gang-gang gelap
Bersama para pencuri, para perampok
dan para pembunuh
Tuhan adalah teman sekamar para penjinah
Raja dari segala raja
adalah cacing bagi bebek dan babi
Wajah Tuhan yang manis adalah meja pejudian
yang berdebu dan dibantingi kartu-kartu
Dan sekarang saya lihat
Tuhan sebagai orang tua renta
tidur melengkung di trotoar
batuk-batuk karena malam yang dingin
dan tangannya menekan perutnya yang lapar
Tuhan telah terserang lapar, batuk, dan selesma,
menangis di tepi jalan.
Wahai, ia adalah teman kita yang akrab!
Ia adalah teman kita semua: para musuh polisi,
Para perampok, pembunuh, penjudi,
pelacur, penganggur, dan peminta-minta
Marilah kita datang kepada-Nya
kita tolong teman kita yang tua dan baik hati.

NOTA BENE : AKU KANGEN


Lunglai - ganas karena bahagia dan sedih,
indah dan gigih cinta kita di dunia yang fana.
Nyawamu dan nyawaku dijodohkan langit,
dan anak kita akan lahir di cakrawala.
Ada pun mata kita akan terus bertatapan hingga berabad-abad lamanya.
Juwitaku yang cakap meskipun tanpa dandanan
untukmu hidupku terbuka.
Warna-warna kehidupan berpendar-pendar menakjubkan
Isyarat-isyarat getaran ajaib menggerakkan penaku.
Tanpa sekejap pun luput dari kenangan padamu
aku bergerak menulis pamplet, mempertahankan kehidupan.

ORANG-ORANG MISKIN

        Orang-orang
miskin di jalan,
        yang tinggal di dalam selokan,
        yang kalah di dalam pergulatan,
        yang diledek oleh impian,
        janganlah mereka ditinggalkan.
        Angin membawa bau baju mereka.
        Rambut mereka melekat di bulan purnama.
        Wanita-wanita bunting berbaris di cakrawala,
        mengandung buah jalan raya.
        Orang-orang miskin. Orang-orang berdosa.
        Bayi gelap dalam batin. Rumput dan lumut jalan raya.
        Tak bisa kamu abaikan.
        Bila kamu remehkan mereka,
        di jalan  kamu akan diburu bayangan.
        Tidurmu akan penuh igauan,
        dan bahasa anak-anakmu sukar kamu terka.
        Jangan kamu bilang negara ini kaya
        karena orang-orang berkembang di kota dan di desa.
        Jangan kamu bilang dirimu kaya
        bila tetanggamu memakan bangkai kucingnya.
        Lambang negara ini mestinya trompah dan blacu.
        Dan perlu diusulkan
        agar ketemu presiden tak perlu berdasi seperti Belanda.
        Dan tentara di jalan jangan bebas memukul mahasiswa.
        Orang-orang miskin di jalan
        masuk ke dalam tidur malammu.
        Perempuan-perempuan bunga raya
        menyuapi putra-putramu.
        Tangan-tangan kotor dari jalanan
        meraba-raba kaca jendelamu.
        Mereka tak bisa kamu biarkan.
        Jumlah mereka tak bisa kamu mistik menjadi nol.
        Mereka akan menjadi pertanyaan
        yang mencegat ideologimu.
        Gigi mereka yang kuning
        akan meringis di muka agamamu.
        Kuman-kuman sipilis dan tbc dari gang-gang gelap
        akan hinggap di gorden presidenan
        dan buku programma gedung kesenian.
        Orang-orang miskin berbaris sepanjang sejarah,
        bagai udara panas yang selalu ada,
        bagai gerimis yang selalu membayang.
        Orang-orang miskin mengangkat pisau-pisau
        tertuju ke dada kita,
        atau ke dada mereka sendiri.
        O, kenangkanlah :
        orang-orang miskin
        juga berasal dari kemah Ibrahim

SAJAK ANAK MUDA


        Kita adalah angkatan gagap
        yang diperanakkan oleh angkatan takabur.
        Kita kurang pendidikan resmi
        di dalam hal keadilan,
        karena tidak diajarkan berpolitik,
        dan tidak diajar dasar ilmu hukum
        Kita melihat kabur pribadi orang,
        karena tidak diajarkan kebatinan atau ilmu jiwa.
        Kita tidak mengerti uraian pikiran lurus,
        karena tidak diajar filsafat atau logika.
        Apakah kita tidak dimaksud
        untuk mengerti itu semua ?
        Apakah kita hanya dipersiapkan
        untuk menjadi alat saja ?
        inilah gambaran rata-rata
        pemuda tamatan SLA,
        pemuda menjelang dewasa.
        Dasar pendidikan kita adalah kepatuhan.
        Bukan pertukaran pikiran.
        Ilmu sekolah adalah ilmu hafalan,
        dan bukan ilmu latihan menguraikan.
        Dasar keadilan di dalam pergaulan,
        serta pengetahuan akan kelakuan manusia,
        sebagai kelompok atau sebagai pribadi,
        tidak dianggap sebagai ilmu yang perlu dikaji dan diuji.
        Kenyataan di dunia menjadi remang-remang.
        Gejala-gejala yang muncul lalu lalang,
        tidak bisa kita hubung-hubungkan.
        Kita marah pada diri sendiri
        Kita sebal terhadap masa depan.
        Lalu akhirnya,
        menikmati masa bodoh dan santai.
        Di dalam kegagapan,
        kita hanya bisa membeli dan memakai
        tanpa bisa mencipta.
        Kita tidak bisa memimpin,
        tetapi hanya bisa berkuasa,
        persis seperti bapak-bapak kita.
        Pendidikan negeri ini berkiblat ke Barat.
        Di sana anak-anak memang disiapkan
        Untuk menjadi alat dari industri.
        Dan industri mereka berjalan tanpa berhenti.
        Tetapi kita dipersiapkan menjadi alat apa ?
        Kita hanya menjadi alat birokrasi !
        Dan birokrasi menjadi berlebihan
        tanpa kegunaan -
        menjadi benalu di dahan.
        Gelap. Pandanganku gelap.
        Pendidikan tidak memberi pencerahan.
        Latihan-latihan tidak memberi pekerjaan
        Gelap. Keluh kesahku gelap.
        Orang yang hidup di dalam pengangguran.
        Apakah yang terjadi di sekitarku ini ?
        Karena tidak bisa kita tafsirkan,
        lebih enak kita lari ke dalam puisi ganja.
        Apakah artinya tanda-tanda yang rumit ini ?
        Apakah ini ? Apakah ini ?
        Ah, di dalam kemabukan,
        wajah berdarah
        akan terlihat sebagai bulan.
        Mengapa harus kita terima hidup begini ?
        Seseorang berhak diberi ijazah dokter,
        dianggap sebagai orang terpelajar,
        tanpa diuji pengetahuannya akan keadilan.
        Dan bila ada ada tirani merajalela,
        ia diam tidak bicara,
        kerjanya cuma menyuntik saja.
        Bagaimana ? Apakah kita akan terus diam saja.
        Mahasiswa-mahasiswa ilmu hukum
        dianggap sebagi bendera-bendera upacara,
        sementara hukum dikhianati berulang kali.
        Mahasiswa-mahasiswa ilmu ekonomi
        dianggap bunga plastik,
        sementara ada kebangkrutan dan banyak korupsi.
        Kita berada di dalam pusaran tatawarna
        yang ajaib dan tidak terbaca.
        Kita berada di dalam penjara kabut yang memabukkan.
        Tangan kita menggapai untuk mencari pegangan.
        Dan bila luput,
        kita memukul dan mencakar
        ke arah udara
        Kita adalah angkatan gagap.
        Yang diperanakan  oleh angkatan kurangajar.
        Daya hidup telah diganti oleh nafsu.
        Pencerahan telah diganti oleh pembatasan.
        Kita adalah angkatan yang berbahaya

SAJAK BULAN MEI 1998 DI INDONESIA


Aku tulis sajak ini di bulan gelap raja-raja.
Bangkai-bangkai tergeletak lengket di aspal jalan.
Amarah merajalela tanpa alamat.
Ketakutan muncul dari sampah kehidupan.
Pikiran kusut membentuk simpul-simpul sejarah.
O, jaman edan !
O, malam kelam pikiran insan !
Koyak-moyak sudah keteduhan tenda kepercayaan.
Kitab undang-undang tergeletak di selokan
Kepastian hidup terhuyung-huyung dalam comberan.
O, tatawarna fatamorgana kekuasaan !
O, sihir berkilauan dari mahkota raja-raja !
Dari sejak jaman Ibrahim dan Musa
Allah selalu mengingatkan
bahwa hukum harus lebih tinggi
dari keinginan para politisi, raja-raja, dan tentara.
O, kebingungan yang muncul dari kabut ketakutan !
O, rasa putus asa yang terbentur sangkur !
Berhentilah mencari ratu adil !
Ratu adil itu tidak ada. Ratu adil itu tipu daya !
Apa yang harus kita tegakkan bersama
adalah Hukum Adil.
Hukum Adil adalah bintang pedoman di dalam prahara.
Bau anyir darah yag kini memenuhi udara
menjadi saksi yang akan berkata :
Apabila pemerintah sudah menjarah Daulat Rakyat,
apabila cukong-cukong sudah menjarah ekonomi bangsa,
apabila aparat keamanan sudah menjarah keamanan,
maka rakyat yang tertekan akan mencontoh penguasa,
lalu menjadi penjarah di pasar dan jalan raya.
Wahai, penguasa dunia yang fana !
Wahai, jiwa yang tertenung sihir tahta !
Apakah masih buta dan tuli di dalam hati ?
Apakah masih akan menipu diri sendiri ?
Apabila saran akal sehat kamu remehkan
berarti pintu untuk pikiran-pikiran gelap
yang akan muncul dari sudut-sudut gelap
telah kamu bukakan !
Cadar kabut duka cita menutup wajah Ibu Pertiwi
Airmata mengalir dari sajakku ini.

SAJAK BURUNG-BURUNG KONDOR


        Angin gunung turun merembes ke hutan,
        lalu bertiup di atas permukaan kali yang luas,
        dan akhirnya berumah di daun-daun tembakau.
        Kemudian hatinya pilu
        melihat jejak-jejak sedih para petani - buruh
        yang terpacak di atas tanah gembur
        namun tidak memberi kemakmuran bagi penduduknya.
        Para tani - buruh bekerja,
        berumah di gubug-gubug tanpa jendela,
        menanam bibit di tanah yang subur,
        memanen hasil yang berlimpah dan makmur
        namun hidup mereka sendiri sengsara.
        Mereka memanen untuk tuan tanah
        yang mempunyai istana indah.
        Keringat mereka menjadi emas
        yang diambil oleh cukong-cukong pabrik cerutu di Eropa.
        Dan bila mereka menuntut perataan pendapatan,
        para ahli ekonomi membetulkan letak dasi,
        dan menjawab dengan mengirim kondom.
        Penderitaan mengalir
        dari parit-parit wajah rakyatku.
        Dari pagi sampai sore,
        rakyat negeriku bergerak dengan lunglai,
        menggapai-gapai,
        menoleh ke kiri, menoleh ke kanan,
        di dalam usaha tak menentu.
        Di hari senja mereka menjadi onggokan sampah,
        dan di malam hari mereka terpelanting ke lantai,
        dan sukmanya berubah menjadi burung kondor.
        Beribu-ribu burung kondor,
        berjuta-juta burung kondor,
        bergerak menuju ke gunung tinggi,
        dan disana mendapat hiburan dari sepi.
        Karena hanya sepi
        mampu menghisap dendam dan sakit hati.
        Burung-burung kondor menjerit.
        Di dalam marah menjerit,
        bergema di tempat-tempat yang sepi.
        Burung-burung kondor menjerit
        di batu-batu gunung menjerit
        bergema di tempat-tempat yang sepi
        Berjuta-juta burung kondor mencakar batu-batu,
        mematuki batu-batu, mematuki udara,
        dan di kota orang-orang  bersiap menembaknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Senandung Rindu untuk Ibu

Ibu.. Ribuan hari berlalu Tanpa hadirmu Namun rindu Masih menderu Penuhi ruang kalbu Dan netraku Masih pantulkan kelabu Sekalipun langit itu...