Sabtu, 07 April 2012

DOKUMENTASI PUISI TAUFIQ ISMAIL

oleh Pakde Azir

TAUFIQ ISMAIL dilahirkan 25 Juni 1935 di Bukittinggi, menghabiskan masa SD dan SMP di Bukittinggi dan SMA di Pekalongan. Tumbuh dalam keluarga guru dan wartawan yang suka membaca. Ia telah bercita-cita menjadi sastrawan sejak masih SMA. Dengan pilihan sendiri, ia menjadi dokter hewan dan ahli peternakan karena ingin memiliki bisnis peternakan guna menafkahi cita-cita kesastraannya. Ia tamat Fakultas Kedokteran Hewan UI Bogor (sekarang IPB) pada 1963 tapi gagal punya usaha ternak yang dulu direncanakannya di sebuah pulau di Selat Malaka.
Semasa kuliah aktif dalam organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII), Ketua Senat Mahasiswa FKHP-UI (1960-1961) dan Wakil Ketua Dewan Mahasiswa UI (1961-1962).
Di Bogor pernah jadi guru di SKP Pamekar dan SMA Regina Pacis, juga mengajar di IPB. Karena menandatangani Manifesto Kebudayaan, gagal melanjutkan studi manajemen peternakan di Florida (1964) dan dipecat sebagai dosen di IPB.
Ia menulis di berbagai media, jadi wartawan, salah seorang pendiri Horison (1966), ikut mendirikan DKJ dan jadi pimpinannya, Pj. Direktur TIM, Rektor LPKJ dan Manajer Hubungan Luar Unilever. Penerima beasiswa AFS International Scholarship, sejak 1958 aktif di AFS Indonesia, menjabat sebagai Ketua Dewan Pembina Yayasan Bina Antarbudaya, penyelenggara pertukaran pelajar antarbangsa yang selama 41 tahun (sejak 1957) telah mengirim 1.700 siswa ke 15 negara dan menerima 1.600 siswa asing di sini.
Pengkategoriannya sebagai penyair Angkatan '66 oleh Hans Bague Jassin merisaukannya, misalnya dia puas diri lantas proses penulisannya macet. Ia menulis buku kumpulan puisi, seperti Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia, Tirani dan Benteng, Tirani, Benteng, Buku Tamu Musim Perjuangan, Sajak Ladang Jagung, Kenalkan, Saya Hewan, Puisi-puisi Langit, Prahara Budaya:Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI dkk, Ketika Kata Ketika Warna, Seulawah – Antologi Sastra Aceh, dan lain-lain.
Banyak puisinya dinyanyikan Himpunan Musik Bimbo, pimpinan Samsudin Hardjakusumah, atau sebaliknya ia menulis lirik buat mereka dalam kerja sama. Iapun menulis lirik buat Chrisye, Yan Antono (dinyanyikan Ahmad Albar) dan Ucok Harahap. Menurutnya kerjasama semacam ini penting agar jangkauan publik puisi lebih luas.
Taufiq sering membaca puisi di depan umum. Di luar negeri, ia telah baca puisi di berbagai festival dan acara sastra di 24 kota Asia, Australia, Amerika, Eropa, dan Afrika sejak 1970. Baginya, puisi baru ‘memperoleh tubuh yang lengkap’  jika setelah ditulis, dibaca di depan orang.
Bosan dengan kecenderungan puisi Indonesia yang terlalu serius, di awal 1970-an menggarap humor dalam puisinya. Sentuhan humor terasa terutama dalam puisi berkabar atau narasinya. Antologi puisi humornya berjudul Rendez-Vous diterbitkan di Rusia dalam terjemahan Victor Pogadaev dan dengan ilustrasi oleh Aris Aziz dari Malaysia (2004.)


(1) 1946 : LARUT MALAM SUARA SEBUAH TRUK


       Sebuah Lasykar truk
       Masuk kota Salatiga
       Mereka menyanyikan  lagu
       'Sudah Bebas Negeri Kita'

       Di jalan Tuntang seorang anak kecil
       Empat tahun terjaga :
       'Ibu, akan pulangkah Bapa,
       dan membawakan pestol buat saya ?'


       1963


(2) BAGAIMANA KALAU


Bagaimana kalau dulu bukan khuldi yang dimakan Adam, tapi buah alpukat,
Bagaimana kalau bumi bukan bulat tapi segi empat, 
Bagaimana kalau lagu Indonesia Raya kita rubah, 
dan kepada Koes Plus kita beri mandat, 
Bagaimana kalau ibukota Amerika Hanoi, 
dan ibukota Indonesia Monaco, 
Bagaimana kalau malam nanti jam sebelas, 
salju turun di Gunung Sahari, 
Bagaimana kalau bisa dibuktikan bahwa Ali Murtopo, Ali Sadikin dan Ali Wardhana
ternyata pengarang-pengarang lagu pop, 
Bagaimana kalau hutang-hutang Indonesia 
dibayar dengan pementasan Rendra, 
Bagaimana kalau segala yang kita angankan terjadi, 
dan segala yang terjadi pernah kita rancangkan, 
Bagaimana kalau akustik dunia jadi sedemikian sempurnanya
sehingga di kamar tidur kau dengar deru bom Vietnam, gemersik sejuta kaki 
pengungsi, gemuruh banjir dan gempa bumi sera suara-suara 
percintaan anak muda, juga bunyi industri presisi dan margasatwa Afrika, 
Bagaimana kalau pemerintah diizinkan protes
dan rakyat kecil mempertimbangkan protes itu, 
Bagaimana kalau kesenian dihentikan saja sampai di sini
dan kita pelihara ternak sebagai pengganti 
Bagaimana kalau sampai waktunya  
kita tidak perlu bertanya bagaimana lagi. 

1971


(3) BAYI LAHIR BULAN MEI 1998


       Dengarkan itu ada bayi mengea di rumah tetangga 
       Suaranya keras, menangis berhiba-hiba 
       Begitu lahir ditating tangan bidannya 
       Belum kering darah dan air ketubannya 
       Langsung dia memikul hutang di bahunya 
       Rupiah sepuluh


       Kalau dia jadi petani di desa 
       Dia akan mensubsidi harga beras orang kota 
       Kalau dia jadi orang kota 
       Dia akan mensubsidi bisnis pengusaha kaya 
       Kalau dia bayar pajak 
       Pajak itu mungkin jadi peluru runcing 
       Ke pangkal aortanya dibidikkan


       Cobalah nasihati bayi ini dengan penataran juga 
       Mulutmu belum selesai bicara 
       Kau pasti dikencinginya

       1998


(4) BUKU TAMU MUSIUM PERJUANGAN


       Pada tahun keenam
       Setelah di kota kami didirikan
       Sebuah Musium Perjuangan
       Datanglah seorang lelaki setengah baya
       Berkunjung dari luar kota
       Pada sore bulan November berhujan
       dan menulis kesannya di buku tamu
       Buku tahun keenam, halaman seratus-delapan


              Bertahun-tahun aku rindu
              Untuk berkunjung kemari
              Dari tempatku jauh sekali
              Bukan sekedar mengenang kembali
              Hari tembak-menembak dan malam penyergapan
              Di daerah ini
              Bukan sekedar menatap lukisan-lukisan
              Dan potret-potret para pahlawan
              Mengusap-usap karaben tua
              Baby mortir buatan sendiri
              Atau menghitung-hitung satyalencana
              Dan selalu


              Alangkah sukarnya bagiku
              Dari tempatku kini, yang begitu jauh
              Untuk datang seperti saat ini
              Dengan jasad berbasah-basah
              Dalam gerimis bulan November
              Datang sore ini, menghayati musium yang lengang
              Sendiri
              Menghidupkan diriku kembali
              Dalam pikiran-pikiran waktu gerilya
              Di waktu kebebasan adalah impian keabadian
              Dan belum berpikir oleh kita masalah kebendaan
              Penggelapan dan salahguna


              Begitulah aku berjalan pelan-pelan
              Dalam musium ini yang lengang
              Dari lemari kaca tempat naskah-naskah berharga
              Kesangkutan ikat-ikat kepala, sangkur-sangkur
              berbendera
              Maket pertempuran
              Dan penyergapan di jalan
              Kuraba mitraliur Jepang, dari baja hitam
              Jajaran bisu pestol Bulldog, pestol Colt
              PENGOEMOEMAN REPOEBLIK yang mulai berdebu
              Gambar lasykar yang kurus-kurus
              Dan kuberi tabik khidmat dan diam
              Pada gambar Pak Dirman
              Mendekati tangga turun, aku menoleh kembali
              Ke ruangan yang sepi dan dalam
              Jendela musium dipukul angin dan hujan
              Kain pintu dan tingkap bergetaran
              Di pucuk-pucuk cemara halaman
              Tahun demi tahun mengalir pelan-pelan


              Deru konvoi menjalari lembah
              Regu di bukit atas, menahan nafas
              Di depan tugu dalam musium ini
              Menjelang pintu keluar ke tingkat bawah
              Aku berdiri dan menatap nama-nama
              Dipahat di sana dalam keping-keping alumina
              Mereka yang telah tewas
              Dalam perang kemerdekaan
              Dan setinggi pundak jendela
              Kubaca namaku disana .....


                       GUGUR DALAM PENCEGATAN
                       TAHUN EMPATPULUH-DELAPAN


       Demikian cerita kakek penjaga
       Tentang pengunjung lelaki setengah baya
       Berkemeja dril lusuh, dari luar kota
       Matanya memandang jauh, tubuh amat kurusnya
       Datang ke musium perjuangan
       Pada suatu sore yang sepi
       Ketika hujan rinai tetes-tetes di jendela
       Dan angin mengibarkan tirai serta pucuk-pucuk cemara
       Lelaki itu menulis kesannya di buku-tamu
       Buku tahun-keenam, halaman seratus-delapan
       Dan sebelum dia pergi
       Menyalami dulu kakek Aki
       Dengan tangannya yang dingin aneh
       Setelah ke tugu nama-nama dia menoleh
       Lalu keluarlah dia, agak terseret berjalan
       Ke tengah gerimis di pekarangan
       Tetapi sebelum ke pagar halaman
       Lelaki itu tiba-tiba menghilang


(5) DARI CATATAN SEORANG DEMONSTRAN


Inilah peperangan
Tanpa jenderal, tanpa senapan
Pada hari-hari yang mendung
Bahkan tanpa harapan


Di sinilah keberanian diuji
Kebenaran dicoba dihancurkn
Pada hari-hari berkabung
Di depan menghadang ribuan lawan

1966


(6) DARI IBU SEORANG DEMONSTRAN


"Ibu telah merelakan kalian
Untuk berangkat demonstrasi
Karena kalian pergi menyempurnakan
Kemerdekaan negeri ini"


Ya, ibu tahu, mereka tidak menggunakan gada
Atau gas airmata
Tapi langsung peluru tajam
Tapi itulah yang dihadapi
Ayah kalian almarhum
Delapan belas tahun yang lalu


Pergilah pergi, setiap pagi
Setelah dahi dan pipi kalian
Ibu ciumi
Mungkin ini pelukan penghabisan
(Ibu itu menyeka sudut matanya)


Tapi ingatlah, sekali lagi
Jika logam itu memang memuat nama kalian
(Ibu itu tersedu sedan)


Ibu relakan
Tapi jangan di saat terakhir
Kau teriakkan kebencian
Atau dendam kesumat
Pada seseorang
Walapun betapa zalimnya
Orang itu


Niatkanlah menegakkan kalimah Allah
Di atas bumi kita ini
Sebelum kalian melangkah setiap pagi
Sunyi dari dendam dan kebencian
Kemudian lafazkan kesaksian pada Tuhan
Serta rasul kita yang tercinta


pergilah pergi
Iwan, Ida dan Hadi
Pergilah pergi
Pagi ini


(Mereka telah berpamitan dengan ibu dicinta
Beberapa saat tangannya meraba rambut mereka
Dan berangkatlah mereka bertiga
Tanpa menoleh lagi, tanpa kata-kata)

1966


(7) JALAN SEGARA


Di sinilah penembakan
Kepengecutan
Dilakukan

Ketika pawai bergerak
Dalam panas matahari

Dan pelor pembayar pajak
Negeri ini

Ditembuskan ke pungung
Anak-anaknya sendiri

1966


(8) JAWABAN DARI POS TERDEPAN


Kami telah menerima surat saudara
Dan sangat paham akan isinya
Tetapi tentang pasal penyerahan
Itu adalah suatu penghinaan


Konvoi sejam lamanya menderu
Di kota. Api kavaleri memancar-mancar
Di roda-rantai dan aspal

Angin meniup dalam panas dan abu
Abu baja. Nyala yang menggeletar-geletar
Sepanjang suara


Kami yang bertahan
Beberapa ratus meter jauhnya
Bukanlah serdadu-serdadu bayaran
Atau terpaksa berperang karena pemerintahan
 

Kebebasan manusia di atas buminya
Adalah penyebab hadir pasukan ini
Dan pasukan-pasukan lainnya

Impian akan harga kemerdekaan manusia
mengumpulkan seorang tukang cukur, penanam-penanam sayur
gembala-gembala, (semua buta huruf) kecuali dua anak SMT
sopir taksi dan seorang mahasiswa kedokteran
dalam pasukan
di pos terdepan ini

Terik dan lengang dipandang tak bertuan
Abu naik perlahan dari bumi
Bumi yang telah diungsikan

Guruh dari jauh, konvoi menderu
Suara panser dan  tank-tank kecil
Mengacukan senjata-senjata baru

Kami tidak punya batalion paratroop
Cadangan sulfa, apalagi mustang dan lapis-baja
Kami hanya memiliki karaben-karaben tua
Bahkan bambu pedesaan, ujungnya diruncingkan

Pasukan ini tak bicara dalam bahasa akademi militer
Tidak juga memiliki pengalaman perang dunia
Tetapi untuk kecintaan akan kebebasan manusia
Di atas buminya
Pasukan ini sudah menetapkan harganya

Sebentar lagi malampun akan turun
membawa kesepian ajal adalam gurun


Tidakkah engkau bisa menempatkan diri
sebentar, di tempat kami
Memikirkan bahwa ibumu tua diungsikan
tersaruk-saruk berjalan kaki
Setelah rumah-rumah di kampungmu dibakari
setelah adik kandungmu ditembak mati

Adakah demi lain, yang mengatasi
demi kemanusiaan ?
Adakah ?

Di seberang sini berjaga pengawalan
Tanpa gardu dan kemah, berbaju lusuh dalam semak
Dialah yang terdepan dengan sepucuk Lee & Field
Dialah huruf pertama dari Republik

1965


(9) KALIAN CETAK KAMI JADI BANGSA PENGEMIS,  
      LALU KALIAN PAKSA KAMI  
      MASUK MASA PENJAJAHAN BARU
      Kata Si Toni


Kami generasi yang sangat kurang rasa percaya diri 
Gara-gara pewarisan nilai, sangat dipaksa-tekankan 
Kalian bersengaja menjerumuskan kami-kami 
Sejak lahir sampai dewasa ini 
Jadi sangat tepergantung pada budaya 
Meminjam uang ke mancanegara 
Sudah satu keturunan jangka waktunya 
Hutang selalu dibayar dengan hutang baru pula 
Lubang itu digali lubang itu juga ditimbuni 
Lubang itu, alamak, kok makin besar jadi 
Kalian paksa-tekankan budaya berhutang ini 
Sehingga apa bedanya dengan mengemis lagi 
Karena rendah diri pada bangsa-bangsa dunia 
Kita gadaikan sikap bersahaja kita 
Karena malu dianggap bangsa miskin tak berharta 
Kita pinjam uang mereka membeli benda mereka 
Harta kita mahal tak terkira, harga diri kita 
Digantung di etalase kantor Pegadaian Dunia 
Menekur terbungkuk kita berikan kepala kita bersama 
Kepada Amerika, Jepang, Eropa dan Australia 
Mereka negara multi-kolonialis dengan elegansi ekonomi 
Dan ramai-ramailah mereka pesta kenduri 
Sambil kepala kita dimakan begini 
Kita diajarinya pula tata negara dan ilmu budi pekerti 
Dalam upacara masuk masa penjajahan lagi 
Penjajahnya banyak gerakannya penuh harmoni 
Mereka mengerkah kepala kita bersama-sama 
Menggigit dan mengunyah teratur berirama 

Sedih, sedih, tak terasa jadi bangsa merdeka lagi 
Dicengkeram kuku negara multi-kolonialis ini 
Bagai ikan kekurangan air dan zat asam 
Beratus juta kita menggelepar menggelinjang 
Kita terperangkap terjaring di jala raksasa hutang 
Kita menjebakkan diri ke dalam krangkeng budaya 
Meminjam kepeng ke mancanegara 
Dari membuat peniti dua senti 
Sampai membangun kilang gas bumi 
Dibenarkan serangkai teori penuh sofistikasi 
Kalian memberi contoh hidup boros berasas gengsi 
Dan fanatisme mengimpor barang luar negeri 
Gaya hidup imitasi, hedonistis dan materialistis 
Kalian cetak kami jadi Bangsa Pengemis 
Ketika menadahkan tangan serasa menjual jiwa 
Tertancap dalam berbekas, selepas tiga dasawarsa 
Jadilah kami generasi sangat kurang rasa percaya 
Pada kekuatan diri sendiri dan kayanya sumber alami 
Kalian lah yang membuat kami jadi begini 
Sepatutnya kalian kami giring ke lapangan sepi 
Lalu tiga puluh ribu kali, kami cambuk dengan puisi ini 

1998


(10) KEMBALIKAN INDONESIA PADAKU 
        kepada Kang Ilen 


Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga, 
Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 wat, 
sebagian berwarna putih dan sebagian hitam,  
yang menyala bergantian, 
Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang malam  
dengan bola  yang bentuknya seperti telur angsa, 
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam  
karena seratus juta penduduknya, 


                                        Kembalikan 
                                        Indonesia 
                                        padaku 



Hari depan Indonesia adalah satu juta orang main pingpong siang malam  
dengan bola telur angsa di bawah sinar lampu 15 wat, 
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang pelan-pelan tenggelam  
lantaran berat bebannya kemudian angsa-angsa berenang-renang di atasnya, 
Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga,  
dan di dalam mulut itu ada bola-bola lampu 15 wat,  
sebagian putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian, 
Hari depan Indonesia adalah angsa-angsa putih yang berenang-renang  
sambil main pingpong di atas pulau Jawa yang tenggelam  
dan membawa seratus juta bola lampu 15 wat ke dasar lautan, 


                                        Kembalikan 
                                        Indonesia 
                                        padaku 


Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang malam  
dengan bola yang bentuknya seperti telur angsa, 
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam  
karena seratus juta penduduknya, 
Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 wat,  
sebagian berwarna putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian, 


                                        Kembalikan 
                                        Indonesia 
                                        padaku 

Paris, 1971

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Senandung Rindu untuk Ibu

Ibu.. Ribuan hari berlalu Tanpa hadirmu Namun rindu Masih menderu Penuhi ruang kalbu Dan netraku Masih pantulkan kelabu Sekalipun langit itu...