Oleh: Pakde Azir
LICENTIA POETICA : KEBEBASAN BEREKSPRESI
Licentia poetica, suatu istilah yang kerap terdengar dari dunia sastra.
Namun apakah licentia poetica itu? Licentia poetica adalah suatu
lisensi atau izin tak tertulis yang diberikan kepada penulis karya
sastra untuk menerjang kaidah tata bahasa Indonesia yang baik dan benar
demi menimbulkan efek-efek tertentu sesuai keinginannya. Singkatnya
dengan licentia poetica, seorang penulis ‘dihalalkan’ mempergunakan
kaidah bahasa sendiri meski menyimpang.
Tampaknya era
penggunaan licentia poetica dimulai sejak diperkenalkannya puisi
kontemporer kepada masyarakat umum. Puisi kontemporer adalah puisi yang
sudah tak terikat lagi dengan aturan-aturan penulisan puisi pada puisi
baru atau puisi sebelumnya. Puisi kontemporer adalah puisi paling bebas
yang pernah ada. Penyair dapat menggunakan kata-kata sesuka hatinya
bahkan menggunakan kata-kata asing yang tidak tertulis di dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI) atau bahkan menggunakan gambar. Contoh
penyair puisi kontemporer adalah Sutardji Calzoum Bachri dengan banyak
sajak yang ia buat seperti :
SEPISAUPI
Oleh : Sutardji Calzoum Bachri
sepisau luka sepisau duri
sepikul dosa sepukau sepi
sepisau duka serisau diri
sepisau sepi sepisau nyanyi
sepisaupa sepisaupi
sepisapanya sepikau sepi
sepisaupa sepisaupoi
sepikul diri keranjang duri
sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sampai pisauNya ke dalam nyanyi
Pada awalnya penggunaan licentia poetica dimaksudkan sebagai pembentuk
efek-efek tertentu dalam karya sastra. Misalnya kemerduan bunyi,
keselarasan sajak dan keseimbangan irama yang terbentuk dari susunan
kata-kata dalam suatu kalimat. Efek-efek seperti ini akan menimbulkan
kesan tertentu yang dapat mempengaruhi emosi pembaca sehingga pembaca
akan terbawa cerita dan benar-benar meresapi cerita tersebut. Selain itu
efek lain yang ditimbulkan oleh licentia poetica adalah menggugah rasa
ingin tahu pembaca akan suatu karya akibat sang pembaca merasa karya
tersebut unik dan berbeda dari karya lain.
Saat ini licentia
poetica masih dipergunakan dalam dunia sastra. Namun sayang banyak
penulis yang sering menjadikan licentia poetica sebagai alasan bagi
mereka untuk menerjang kaidah bahasa yang telah baku. Hal ini dianggap
lumrah karena kebebasan berkarya tak boleh dibatasi. Namun apakah
penulis tersebut memahami kaidah tata bahasa yang baik dan benar? Belum
tentu. Padahal sebagai warga negara Indonesia yang baik hendaklah
menjaga dan melestarikan kebudayaannya apalagi bahasa nasional.
Ya, inilah licentia poetica yang hingga kini masih menuai perdebatan di
dunia sastra Indonesia. Di suatu sisi penggunaan licentia poetica
dimaksudkan sebagai pemanis karya sastra namun di sisi lain menjaga
kelestarian bahasa nasional adalah kewajiban setiap warga negara
termasuk para penyair. Kalau sudah begini apa yang harus diperbuat?
Hendaknya yang harus kita garis bawahi adalah pelanggaran aturan bahasa
atas nama licentia poetica adalah suatu hal namun buta akan aturan
penggunaan bahasa yang baik dan benar adalah hal lain. Kedua hal
tersebut tak dapat dipadukan karena latar belakang permasalahan yang
berbeda. Sebagai bangsa Indonesia yang baik kita tidak dilarang
menciptakan karya sastra karena itu adalah salah satu wujud pelestarian
seni berbahasa namun juga hendaknya pemahaman akan kaidah penggunaan
bahasa yang baik dan benar tidak kita abaikan.
KREDO PUISI : KEBEBASAN TANPA RAMBU
APAKAH MASIH BERADA DALAM KORIDOR LICENTIA POETICA?
Setiap penyair memiliki licentia poetica dalam penulisan puisi
(kebebasan penyair dalam memilah dan memilih cara dan gaya ungkap
puisinya). Untuk totalitas ekspresi terkadang penyair melakukan
pelanggaran kaidah bahasa dengan tujuan mengungkapkan secara memikat
dapat dihasilkan totalitas pengungkapan. Lantaran bahasa dan komunikasi
senantiasa harus diutamakan, maka pelanggaran dimungkinkan sejauh untuk
kebutuhan ekspresi puitik.
Menurut Shaw (1972: 291); Licentia
Poetica adalah kebebasan seorang sastrawan untuk menyimpang dari
kenyataan, dari bentuk atau aturan konvensional, untuk menghasilkan efek
yang dikehendaki.
Bahwasanya kata “licentia poetica” yang mungkin
di mata sebagian penyair masih sangat asing, namun oleh kalangan penyair
lainnya bisa jadi telah menjadi santapan sehari-hari, dalam
kenyataannya lebih menyerupai “tameng” bagi penyair untuk memerdekakan
diri demi menulis (berkarya) sebebas mungkin. Termasuk di antaranya
kemungkinan melanggar kaidah-kaidah bahasa yang ada. Kata “licentia
poetica” ini seakan menyerupai nomina abstrak alias kata benda yang
tidak terlihat secara kasat mata. Mengapa? Karena kita hanya sering
mendengar tentangnya, bahkan selalu menggunakannya, tetapi tidak tahu
dengan pasti bagaimana bentuk dan wujud aslinya. Dengan kata lain :
masalah sistem, batasan, cakupan, dan lain sebagainya terkait
penerapannya dalam karya sastra (puisi), hingga saat ini masih menjadi
“tanda tanya” besar.
Paradigma yang berkembang selama ini
tentang licentia poetica tak lebih dari kata “bebas” atau “merdeka”
dalam menulis. Dengan licentia poetica seorang penyair dapat dengan
leluasa menumpahkan kreatifitas ke dalam sebuah karya tanpa batasan apa
pun. Dengan licentia poetica perjalanan seorang penyair akan sangat aman
dan nyaman, bebas hambatan, tak ada gangguan dari siapa pun. Sehingga
kesan yang timbul mengisyaratkan bahwa kaidah bahasa yang kita kenal
dengan nama resmi “Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang
Disempurnakan” atau lebih sering disebut EYD, yang mulai resmi berlaku
sejak tahun 1972 setelah menggantikan Ejaan Republik (Ejaan Suwandi),
seolah-olah serupa hujan deras yang senantiasa menyertai, mengiringi,
bahkan menjadi aral melintang dalam perjalanan seorang penyair. Dari
derasnya hujan ini, muncullah licentia poetica sebagai “payung” yang
luas-lebar sebagai pelindung.
Lantaran demikian abstraknya,
licentia poetica pun tumbuh dan berkembang sebagai sesuatu yang sifatnya
individu dalam lingkup masyarakat bahasa dan sastra, tak terkecuali
kalangan penyair. Di mana “kebebasan” dimaksud lantas diinterpretasikan,
dimaknai, serta dieksplorasi sedemikian rupa oleh masing-masing
penggunanya. Tentu saja dengan cara, metode, maupun tingkat kemampuan
yang berbeda dan nafsi-nafsi pula.
Contoh paling dekat adalah
seorang Sutardji Calzoum Bachri (SCB) — yang sering dijuluki Presiden
Licentia Poetica — yang dengan mantapnya memproklamirkan sebuah temuan
fenomenal bertajuk “Kredo Puisi” pada tanggal 30 Maret 1973, sebagai
berikut (kopas lengkap) :
KREDO PUISI
>>
Kata-kata bukanlah alat mengantarkan pengertian, Dia bukan seperti pipa
yang menyalurkan air. Kata adalah pengertian itu sendiri. Dia bebas.
>> Kata diumpamakan dengan kursi, kata adalah kursi itu sendiri
dan bukan alat untuk duduk. Kalau diumpamakan dengan pisau, dia adalah
pisau itu sendiri dan bukan alat untuk memotong atau menikam.
>> Dalam kesehari-harian kata cenderung dipergunakan sebagai alat
untuk mengantarkan pengertian. Dianggap sebagai pesuruh untuk
menyampaikan pengertian. Dan dilupakan kedudukan yang merdeka sebagai
pengertian.
>> Kata-kata harus bebas dari penjajahan pengertian, dari beban idea. Kata-kata harus bebas menentukan dirinya sendiri.
>> Dalam puisi saya, saya bebaskan kata-kata dari tradisi lapuk
yang membelenggu seperti kamus dan penjajahan-penjajahan lain seperti
moral kata yang dibebankan masyarakat pada kata tertentu dengan dianggap
kotor (obscene) serta penjajahan gramatika.
>> Bila
kata telah dibebaskan, kreativitas pun dimungkinkan. Karena kata-kata
bisa menciptakan dirinya, bermain dengan dirinya sendiri, dan menentukan
kemauannya sendiri. Pendadakan yang kreatif bisa timbul karena kata
yang biasanya dianggap berfungsi sebagai penyalur pengertian bisa
menyungsang terhadap fungsinya. Maka timbullah hal-hal yang tak terduga
sebelumnya yang kreatif.
>> Dalam penciptaan puisi saya,
kata-kata saya biarkan bebas. Dalam gairahnya karena telah menemukan
kebebasan, kata-kata meloncat-loncat dan menari di atas kertas, mabuk
dan menelanjangi dirinya sendiri, mondar-mandir dan berkali-kali
menunjukkan muka dan belakangnya yang mungkin sama atau tak sama,
membelah dirinya dengan bebas, menyatukan dirinya dengan yang lainnya
untuk memperkuat dirinya, membalik dan menyungsangkan sendiri dirinya
dengan bebas, saling bertentangan sendiri satu sama lainnya karena
mereka bebas berbuat semaunya atau bila perlu membunuh dirinya sendiri
untuk menunjukkan dirinya bisa menolak dan berontak terhadap pengertian
yang ingin dibebankan kepadanya.
>> Sebagai penyair saya
hanya menjaga sepanjang tidak mengganggu kebebasannya agar kehadirannya
yang bebas sebagai pembentuk pengertian sendiri, bisa mendapat
aksentuasi yang maksimal.
>> Menulis puisi bagi saya
adalah membebaskan kata-kata, yang berarti mengembalikan kata pada awal
mulanya. Pada mulanya adalah kata.
>> Dan kata pertama adalah mantera. Maka menulis puisi bagi saya adalah mengembalikan kata kepada mantera.
Sutardji Calzoum Bachri (SCB) — Bandung, 30 Maret 1973 — (O, Amuk, Kapak, 1981:13-14).
KATA = MANTRA (?)
Seyogyanya, membicarakan “Kredo Puisi” SCB yang membingungkan di atas
tentulah sesuatu yang butuh penalaran ekstra dan hendaknya merupakan
kajian representatif. Terlebih jika harus menelusuri asal-muasal berikut
segudang tendesinya. Namun dalam tulisan ini kemungkinan hanya akan
memandang sisi luarnya saja yang berkaitan dengan licentia poetica,
berikut potensi dampaknya terhadap eksistensi bahasa. Karena disamping
keterbatasan waktu serta bahan acuan, ihwal Kredo Puisi ini juga telah
sering dibahas dengan terang-jelas oleh banyak kalangan yang lebih
kompeten. Mulai dari penyair, pemerhati sastra-budaya, hingga para
kritikus sastra.
Kredo Puisi — dalam kurun waktu tertentu —
memang bukanlah isapan jempol belaka, karena serta-merta diikuti dan
ditegaskan dengan karya-karya yang sungguh berbeda dari karya penyair
lainnya. Dalam karya-karya SCB yang berkiblat pada Kredo Puisi, kita
tidak akan menemukan pertalian kata dan makna. Apalagi jika harus
mencari sangkut-pautnya secara leksikal ke dalam kamus, tidak ada jalan
sama sekali. Karena seluruh kemungkinan itu memang telah dimatikan oleh
SCB melalui “kredo” yang dengan sangat tegas menulis bahwa kata-kata
dalam puisinya adalah mantra. Tak pelak, dengan licentia poetica
berlabel Kredo Puisi, sepak terjang SCB dalam meramu,
menjungkir-balikkan, mempreteli, menguliti, hingga mencincang kata demi
kata lewat karyanya, seakan tak terbendung. Namun fenomena ini justru
mendapat resepsi dan tempat tersendiri dalam lingkup masyarakat
bahasa-sastra. Entah karena unik dan menarik, karena tidak tahu dan
kurang mengerti, atau mungkin karena benar-benar telah terkena mantra
yang disebut dalam Kredo Puisi.
Kemudian timbul pertanyaan:
apakah licentia poetica sejenis ini bukannya malah berpotensi membunuh
bahasa? Sebab logisnya; ketika kata sudah dilepas-bebaskan dari makna,
ketika kamus tak lagi diperlukan dan justru dianggap belenggu, lalu
untuk apa lagi ada pelajaran Bahasa Indonesia dalam kurikulum
pendidikan? Jika memang kata benar-benar akan dikembalikan menjadi
mantra — menurut “Kredo Puisi” kata pertama adalah mantra — apa tidak
sebaiknya Fakultas Bahasa dan Sastra di unversitas-universitas seantero
negeri diganti saja namanya menjadi Fakultas Dukun dan Mantra? Kalau
demikian, apakah tidak sebaiknya lafal butir ketiga dalam Sumpah Pemuda
yang berbunyi: “…menjunjung bahasa persatuan…” direvisi saja menjadi
“…menjunjung mantra persatuan…”?
Karena menurut artinya sendiri
dalam KBBI, “mantra” adalah: (1) perkataan atau ucapan yang memiliki
kekuatan gaib (misalnya dapat menyembuhkan, mendatangkan celaka, dan
sebagainya); (2) susunan kata berunsur puisi (seperti rima, irama) yang
dianggap mengandung kekuatan gaib, biasanya diucapkan oleh dukun atau
pawang untuk menandingi kekuatan gaib yang lain. Dalam pembagiannya lagi
mantra dikelompokkan atas: (a) mantra kejahatan, yaitu mantra untuk
perbuatan-perbuatan jahat dan mencelakai orang lain; (b) mantra
keselamatan, yakni mantra untuk menjaga diri dari bahaya; (c) mantra
penawar, atau dikenal sebagai mantra pengobatan terhadap orang sakit;
(d) mantra pitanggang, kerap dijadikan mantra yang menyebabkan perempuan
tidak suka kepada pria atau tidak menikah seumur hidup karena tidak ada
laki-laki yang mencintainya.
Lalu, mantra mana yang dimaksud
oleh Kredo Puisi? Setelah membaca mantra-mantra temuan Kredo Puisi,
pertanyaannya; sudah berapa banyak orang sakit yang berhasil
disembuhkan? Sudah berapa kali mencelakai orang akibat sihir-menyihir,
teluh-meneluh, santet-menyantet, dan semacamnya? Sudah berapa banyak
orang yang terselamatkan dari bahaya? Atau, perempuan mana yang
kira-kira “mau” tidak bersuami seumur hidupnya karena terkena mantra
Kredo Puisi? Mohon maaf, bukan lantaran tidak mempercayai mitologi dan
semacamnya, tetapi jika “mantra” harus dijadikan acuan sejenis licentia
poetica dalam karya sastra, barangkali perlu dipertimbangkan untuk
menggolongkan paranormal kondang — yang tentu identik dengan mantra — Ki
Joko Bodo sebagai “penyair” juga.
Tanpa bermaksud “apa pun”
terhadap “siapa pun”, namun licentia poetica bernama Kredo Puisi sungguh
telah menanamkan idealisme segar-nanar-bingar-sangar dalam paham pelaku
sastra yang lain, terutama generasi selanjutnya. Betapa tidak, bahkan
bocah-bocah tingkat sekolah dasar yang baru belajar mengenal huruf pun
sudah diharuskan melahap kreasi individu hasil temuan Kredo Puisi
melalui buku yang masuk ke sekolah-sekolah atas petuah pemerintah yang
mengurusi bidang pendidikan (Depdiknas) — pada masanya.
Lalu
bagaimana dampaknya terhadap perkembangan bahasa sendiri? Sungguh miris
mengatakannya, karena idealnya pada tingkatan bangku sekolah seperti
demikian, semestinya bahasa Indonesia-lah (termasuk di dalamnya EYD)
yang harus dijadikan asupan utama. Bukan justru menjejali sekolahan
dengan karya-karya sastra yang penuh dengan penyimpangan “orang-orang
tertentu” saja. Tengoklah sekarang ke sekeliling kita, betapa kebebasan
seorang penemu Kredo Puisi jauh lebih dikenal luas, dipuja-puja, bahkan
melegenda di seantero negeri. Bandingkan dengan tokoh-tokoh pelopor
bahasa semisal Sutan Takdir Alisjahbana yang dikenal juga sebagai
“insinyur bahasa” lantaran kegigihannya memperjuangkan bahasa Indonesia
semenjak masih bernama bahasa Melayu. Atau deretan nama pemakalah dalam
Kongres Bahasa pertama kali di Solo pada tanggal 25-29 Juni 1938 seperti
Ki Hadjar Dewantara, Djamaluddin Adi Negoro, Amir Syarifuddin, Muhammad
Yamin, Soekardjo Soerjopranoto, Kusuma St. Pamuntjak, Sanusi Pane,
hingga Muhammad Tabrani, yang merupakan salah satu titik tolak lahirnya
kaidah-kaidah bahasa Indonesia. Atau Amin Singgih yang berhasil menarik
minat para guru, mahasiswa, sastrawan, wartawan, hingga para pengusaha
dan birokrat melalui siaran khusus bahasa Indonesia di stasiun TVRI pada
tahun 1970-an. Atau “panglima pembakuan bahasa” Anton Moeliono yang
juga begitu banyak memberi andil dalam proses pembakuan bahasa
Indonesia. Ke mana pula tenggelamnya nama para ahli bahasa semisal J.S.
Badudu hingga Ajip Rosidi yang begitu setianya mengkaji, membenahi, lalu
memperkenalkan serta mengajak seluruh bangsa untuk menggunakan bahasa
Indonesia dengan baik dan benar? Adakah yang masih sudi untuk sekedar
mengingat nama mereka?
Nurel Javissyarqi dalam bukunya
“Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri” (2011),
berbicara selantang-lantangnya, segamblang-gamblangnya,
seterang-terangnya, demi membuka mata dunia terkait Kredo Puisi berikut
sekelumit dinamikanya. Upaya membuat melek mata dunia ini disusun dengan
sangat runut, aktual dan tajam yang lalu diapresiasi dengan
riang-girang-senang oleh banyak kalangan.
Usai menyinggung
sedikit tentang Kredo Puisi, pada gilirannya kita kembali bertanya;
seperti apakah gerangan resepsi masyarakat bahasa dan sastra sendiri
terhadap teka-teki licentia poetica? Tugas inilah yang layak menjadi
“PR” utama bagi kita semua. Karena harus diakui bahwa licentia poetica
hanya bebas bermain dalam lingkup masyarakat sastra, tidak membaur-lebur
dalam ranah masyarakat bahasa. Apa pasal? Tentu saja karena dari sekian
banyak definisi dan pengertian, tetap saja tidak ada kejelasan tentang
batasan, ketentuan, maupun cakupan dari licentia poetica itu sendiri.
Sedangkan para pelaku sastra — khususnya penyair — mau tidak mau, suka
tidak suka, harus menerima kenyataan bahwa mereka adalah salah satu
ujung tombak sekaligus “penunjuk jalan” dalam hal penggunaan bahasa.
Bayangkanlah bagaimana jadinya jika penunjuk jalan yang justru nyasar
duluan lalu kencing berdiri di sembarang tempat? Ibarat pepatah, jika
pemegang tampuk “ing ngarso sung tulodo” sudah doyan kencing berdiri,
kemungkinan konvoi barisan “ing madya mangun karso” hingga “tut wuri
handayani” yang membututi di belakang nantinya bukan lagi kencing
berlari, tetapi kencing nungging dan jungkir balik.
Jadi,
seperti apa dan bagaimana licentia poetica sebenarnya? Untuk pertanyaan
ini kemungkinan memang sulit untuk dijawab dengan pasti. Tetapi dalam
rangka pencarian, tidak ada salahnya jika kita sama-sama bergelut dan
bergumul dengan peluh-keluh demi menilik benar-benar tingkat “kebebasan”
kita dalam mencipta karya sastra — yang di dalamnya menggunakan jasa
gratis “bahasa” itu. Adapun ilustrasi langsung secara sederhana perihal
keterkaitan “licentia poetica” dengan “kaidah EYD” dari sisi struktur
atau gaya penulisan, akan coba kita jajal bersama dalam catatan
selanjutnya
Demikian catatan selayang pandang terhadap
licentia poetica bernama “Kredo Puisi” dari balik kaca mata pengguna
bahasa. Jika ternyata dalam catatan ini banyak cara bertutur yang kurang
berkenan di hati pihak-pihak tertentu, harap dimaklumi. Sebab sejatinya
sama sekali tidak terbersit niat untuk meminus-negatifkan apa pun dan
siapa pun. Tulisan ini dibuat semata-mata dengan tujuan membuka ruang
diskusi selebar-lebarnya, kepada seluruh masyarakat pengguna bahasa dan
penggiat sastra.
Sedikit harapan; semoga putra-putri negeri belum
lupa, bahwa dalam kalender setiap tahun, tanggal 28 Oktober masih tetap
berwarna merah. Seperti halnya segala anggapan, tanggapan, atau apa pun
rupanya terhadap tulisan ini, akan selalu setia dinanti, dengan hati
yang juga merah.
Salam Bahasa, Sastra dan Budaya!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Senandung Rindu untuk Ibu
Ibu.. Ribuan hari berlalu Tanpa hadirmu Namun rindu Masih menderu Penuhi ruang kalbu Dan netraku Masih pantulkan kelabu Sekalipun langit itu...
-
Senja yang terbakar oleh uap panas matahari mematikan daun daun mungilku burungpun enggan singgah di dahannya yang batu pucat maya bayan...
-
Oh Cinta... Aku dengar keluh kesahmu dalam wahana yang begitu sempit Duniamu tersangkut pada khayangan dilema Ingin menari, tapi kata hat...
-
Oleh Pakde Azir Raja Ali Haji bin Raja Haji Ahmad atau cukup dengan nama pena-nya Raja Ali Haji (lahir di Selangor, 1808 — meninggal di ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar