Entah hitam atau putih yang berbaur
Atau sekedar jejak saat jatuh tersungkur
Semua tak pernah benar-benar terkubur
Sebuah pendewasaan hidup dalam alur
Sekalipun dimulai dari lingkar kelam
Tak selalu akhir terbentuk lukis suram
Meskipun samudera itu sangat dalam
Tak kan jadi tempat bagi mimpi tenggelam
Jika derita adalah bayangan bagi langkah
Maka malam ialah harapan yang rekah
Bila nyatanya terik adalah penetes peluh
Ada pula mendung melingkup peneduh
Seperti anak angin yang terus menari
Tiada menentu arahnya membawa diri
Begitu jua terbang tinggi kesana-kemari
Tak hanya selalu rapi mengikuti mentari
Dan inilah jalan bagi serpih-serpih hati
Yang mugkin pernah pula kehilangan arti
Hancur dalam panjangnya waktu menanti
Tak kunjung menyapa kedamaian sejati
Tiba masa menyatukan tiap kepingan
Bahagia tak muncul dalam kediaman
Sebab gerak mesti mengiring keprasahan
Hingga tertutup sempurna sketsa kegelapan
"Pasrah Tanpa Usaha = Kesia-sian"
Minggu, 29 April 2012
Sesalpun Sia-Sia
Meluruh, pinta antara malam
Menyepuh, doa-doa terdalam
Tengadah, tangan begitu rapi
Berpasrah, tapi tak meratapi
Tersingkap, berjuta kekhilafan
Berharap, lebar pintu ampunan
Nafasku, tak merengkuh kuasa
Membeku, ditengah lingkar dosa
Bernyawa, hanyalah sementara
Tertawa, juga ada muara
Diambil, maka matilah raga
Menggigil, takut tidak terhingga
Terlambat, sesalpun sia-sia
Mengingat, telah tutup usia
Menyepuh, doa-doa terdalam
Tengadah, tangan begitu rapi
Berpasrah, tapi tak meratapi
Tersingkap, berjuta kekhilafan
Berharap, lebar pintu ampunan
Nafasku, tak merengkuh kuasa
Membeku, ditengah lingkar dosa
Bernyawa, hanyalah sementara
Tertawa, juga ada muara
Diambil, maka matilah raga
Menggigil, takut tidak terhingga
Terlambat, sesalpun sia-sia
Mengingat, telah tutup usia
Sabtu, 28 April 2012
HUJAN
Hujan di bawah langitku
seolah airmata melaju
basahi semesta raya
tangisi kisah kisah anak manusia
dengan aneka rasa
hujan yang lelapkan kenanganku
pada arus tempatku menyeru rindu
membingkaikan satu arti bahagia
meski cuma berwajah setengah luka
aku memaafkan semua dendam
yang keruh dan tak berhaluan
aku pejamkan rasa di atas awan
biar jatuh
luruh bersama rinainya pelangi.
Atau gemuruh angin menambah dingin
juga sepi yang pecah berkeping
diamkan saja dengan sebutir do'a
sebab kita tak punya daya untuk melerai semua
210412
seolah airmata melaju
basahi semesta raya
tangisi kisah kisah anak manusia
dengan aneka rasa
hujan yang lelapkan kenanganku
pada arus tempatku menyeru rindu
membingkaikan satu arti bahagia
meski cuma berwajah setengah luka
aku memaafkan semua dendam
yang keruh dan tak berhaluan
aku pejamkan rasa di atas awan
biar jatuh
luruh bersama rinainya pelangi.
Atau gemuruh angin menambah dingin
juga sepi yang pecah berkeping
diamkan saja dengan sebutir do'a
sebab kita tak punya daya untuk melerai semua
210412
Janji Maya
Kau ukir sebutir janji
di ujung hati
yang beningkan rasamu
menjadi merpati dengan sayap
bidadari
bermata jeli
bermahkotakan matahari
dan selendang sakti
kau ukir gurisan mimpi
jadi warna pelangi
saat senja jatuh di pusat bumi
dan melodi alam tarikan tarian
kasih sayang
diantara belukar yang temaram
tak terjemah kebisuan
tak terjamah luka
dia memanjakan bathinku
bathinmu.
Tapi akhirnya membunuh seluruh jejak yang terpahat sempurna
hanya dengan satu getar curiga.
Sirnakan rasa dalam jiwa.
Tiada asa di sudut lara.
Selain terpaan kata.
Dan itu sudah tak bernyawa.
Di binaran mata.
Terbunuh lekatnya dusta.
Jadi hanya bangkai berulat sutra
di hati yang keringkan cinta.
Percuma.
Kau umbar laksa pinta
bait maaf sempurna
sedang akhirnya hanya
fatamorgana yang bicara.
O..naifnya..
190412
di ujung hati
yang beningkan rasamu
menjadi merpati dengan sayap
bidadari
bermata jeli
bermahkotakan matahari
dan selendang sakti
kau ukir gurisan mimpi
jadi warna pelangi
saat senja jatuh di pusat bumi
dan melodi alam tarikan tarian
kasih sayang
diantara belukar yang temaram
tak terjemah kebisuan
tak terjamah luka
dia memanjakan bathinku
bathinmu.
Tapi akhirnya membunuh seluruh jejak yang terpahat sempurna
hanya dengan satu getar curiga.
Sirnakan rasa dalam jiwa.
Tiada asa di sudut lara.
Selain terpaan kata.
Dan itu sudah tak bernyawa.
Di binaran mata.
Terbunuh lekatnya dusta.
Jadi hanya bangkai berulat sutra
di hati yang keringkan cinta.
Percuma.
Kau umbar laksa pinta
bait maaf sempurna
sedang akhirnya hanya
fatamorgana yang bicara.
O..naifnya..
190412
SEBERKAS CAHAYA
Binar mentari belum lagi sempurna
masih berselimut dingin dan mega
namun senyum mawarku telah turun ke semesta raya
menatap bening pagi yang indah berbalut nuansa tawa pipit dan cempaka
udara sebentar lagi akan merona
bangunlah wahai sahabat sahabat pena
ungkapkan rasa dan karya cipta
jangan lah duduk termenung
bermuram durja
apalagi hanya melamun mendura
semua orang tentu pernah merasa
hidup segan mati pun tentu segan
peliknya rasa dan masalah jangan buat kau terpedaya
mari nikmati sinar mentari yang berkilauan bak selendang dari kain sutera
230412
masih berselimut dingin dan mega
namun senyum mawarku telah turun ke semesta raya
menatap bening pagi yang indah berbalut nuansa tawa pipit dan cempaka
udara sebentar lagi akan merona
bangunlah wahai sahabat sahabat pena
ungkapkan rasa dan karya cipta
jangan lah duduk termenung
bermuram durja
apalagi hanya melamun mendura
semua orang tentu pernah merasa
hidup segan mati pun tentu segan
peliknya rasa dan masalah jangan buat kau terpedaya
mari nikmati sinar mentari yang berkilauan bak selendang dari kain sutera
230412
Memapar Bias Hati
Seperti hujan yang mengurai cinta
Lewat rintik kecil mengecup semesta
Resapnya luaskan damai menggeleta
Menyentuh keping jiwa-jiwa terlunta
Begitulah hati memapar bias rindu
Coba selaraskan nada-nada sendu
Dari petikan beribu harap berpadu
Membentuk getar rasa nuansa syahdu
Engkau, yang berpijak dikejauhan
Membawa pecahan kalbu tertawan
Memasung tangis dalam senyuman
Membelai risauku dengan ketulusan
Dirimu, yang mengulur rentang sabar
Menanti angkuhku letih dan bersandar
Tiada melukis jenuh walau sebentar
Tak sekalipun hias kata dengan ingkar
Bilakah benar waktu jadi tak terbatas
Kala untai kasih berhak atas balas
Maka biar masa nanti penuh mengulas
Mengukuhkan kisah tiada pernah meretas
Biar kini asaku berubah menyerpih
Melepasnya terbang bebas memilih
Menyambut lantun kidung sang kekasih
Abadikan elok lirik pada lembar putih
Lewat rintik kecil mengecup semesta
Resapnya luaskan damai menggeleta
Menyentuh keping jiwa-jiwa terlunta
Begitulah hati memapar bias rindu
Coba selaraskan nada-nada sendu
Dari petikan beribu harap berpadu
Membentuk getar rasa nuansa syahdu
Engkau, yang berpijak dikejauhan
Membawa pecahan kalbu tertawan
Memasung tangis dalam senyuman
Membelai risauku dengan ketulusan
Dirimu, yang mengulur rentang sabar
Menanti angkuhku letih dan bersandar
Tiada melukis jenuh walau sebentar
Tak sekalipun hias kata dengan ingkar
Bilakah benar waktu jadi tak terbatas
Kala untai kasih berhak atas balas
Maka biar masa nanti penuh mengulas
Mengukuhkan kisah tiada pernah meretas
Biar kini asaku berubah menyerpih
Melepasnya terbang bebas memilih
Menyambut lantun kidung sang kekasih
Abadikan elok lirik pada lembar putih
Sabtu, 21 April 2012
Retak
Mereguk tetes demi tetes sepi
Yang jadikan malam tergenapi
Hanyut benak dilautan kelam
Meraba memori kian menghitam
Adakah nyata luapan sebentuk hati
Yang kini disapu rindu tanpa mengerti
Apa itu asa, masih jauh nian kuasa
Sungguhkah ini rasa, tetap saja biasa
Pudar menghilang sebuah bayang
Dalam pelukan badai lembut menerjang
Sekejap mata, kenangan tersapu
Tak lagi pada silam jiwa bertumpu
Terbuka realita, tentang dimana terletak
Sebenarnya cinta, perlahan mulai retak
Yang jadikan malam tergenapi
Hanyut benak dilautan kelam
Meraba memori kian menghitam
Adakah nyata luapan sebentuk hati
Yang kini disapu rindu tanpa mengerti
Apa itu asa, masih jauh nian kuasa
Sungguhkah ini rasa, tetap saja biasa
Pudar menghilang sebuah bayang
Dalam pelukan badai lembut menerjang
Sekejap mata, kenangan tersapu
Tak lagi pada silam jiwa bertumpu
Terbuka realita, tentang dimana terletak
Sebenarnya cinta, perlahan mulai retak
Jumat, 20 April 2012
Dan Kau Pun Pergi
Berkali aku mencoba mengerti
berkali aku menghibur sepi
memeluk bayangmu agar tetap di sini
dalam rima pertemanan yang kuberikan
namun jiwa bukanlah dua mata sama
dua telinga sama
bukan pula sedarah seirama
pergilah
bila langkahku terlalu berat untuk tetap di sisimu
terbanglah
sesuka sayapmu melayang dalam
buana
aku pun akan melintas di jalan yang kuangap nirwana
meski sorot matamu bicara
tak bisa beranjak menepis rasa
lupakan..
Biarkan
kepakkanlah sayapmu
dan petikkan bintang untuk tidurku..
Nanti malam
meski kita tak bisa melangkah
sewarna sejiwa..
Seperti pagi dan matahari.
140412
Kamis, 19 April 2012
Kenangan pada Jejak Masa
Menatap dari tepian sebuah danau
Yang mukanya rapat oleh hijau
Benarkah tertutup kubangan lampau
Sedang tiap tetesnya adalah risau
Maka dibiarkan daun berjatuhan
Sembunyikan pantulan kepedihan
Hingga tak kan membias bayangan
Sebentuk kelam ingin terlupakan
Namun, tak jua samar laju satu kisah
Sebab dedaunan pun berguratkan resah
Menyempurnakan gambaran langkah
Yang dulu terseok dan menyeret lelah
Tak lagi rimbun pohon yang bermula
Dari benih-benih kenangan berkala
Menguatkan waktu menang atas segala
Mengakar pada jejak masa tak bersela
Bahkan sesekali nuri masih bercerita
Parau kicaunya setia senandungkan cinta
Diatas dahan yang tak mengenal renta
Hingga matanya tiada menangkap pelita
Yang mukanya rapat oleh hijau
Benarkah tertutup kubangan lampau
Sedang tiap tetesnya adalah risau
Maka dibiarkan daun berjatuhan
Sembunyikan pantulan kepedihan
Hingga tak kan membias bayangan
Sebentuk kelam ingin terlupakan
Namun, tak jua samar laju satu kisah
Sebab dedaunan pun berguratkan resah
Menyempurnakan gambaran langkah
Yang dulu terseok dan menyeret lelah
Tak lagi rimbun pohon yang bermula
Dari benih-benih kenangan berkala
Menguatkan waktu menang atas segala
Mengakar pada jejak masa tak bersela
Bahkan sesekali nuri masih bercerita
Parau kicaunya setia senandungkan cinta
Diatas dahan yang tak mengenal renta
Hingga matanya tiada menangkap pelita
CATATAN PAGI
Indah nian aroma pagi ini
bening menyentuh relung terbeningku
memekarkan ribuan kelopak melati
dari balik jendela
tempat angin menyapa ramah mata
dan daun jambu yang bergetar penuh cinta
aku menebar kidung senyawa
antara aku, ibu dan hidupku
terasa pelangi senja
berhiaskan romantika
dan pahatan tawa yang mustika
kupandangi embun yang bergulir di jemari
dingin telah lama pergi
mentari kini bertahta menorehkan jingga senyuman ke mata hati
cinta yang kubasuh di mata renta
ibuku dan surga di telapaknya
seolah mengingatkan satu kata
bersyukur untuk semua yang tergenggam dalam dunia nyata
tempatku merajut rangkai cerita
hingga ke muara usia
detak pagi, 130412
bening menyentuh relung terbeningku
memekarkan ribuan kelopak melati
dari balik jendela
tempat angin menyapa ramah mata
dan daun jambu yang bergetar penuh cinta
aku menebar kidung senyawa
antara aku, ibu dan hidupku
terasa pelangi senja
berhiaskan romantika
dan pahatan tawa yang mustika
kupandangi embun yang bergulir di jemari
dingin telah lama pergi
mentari kini bertahta menorehkan jingga senyuman ke mata hati
cinta yang kubasuh di mata renta
ibuku dan surga di telapaknya
seolah mengingatkan satu kata
bersyukur untuk semua yang tergenggam dalam dunia nyata
tempatku merajut rangkai cerita
hingga ke muara usia
detak pagi, 130412
ANGIN SENJA
Dalam rona sempurna
kau menafsirkan berjuta rasa cinta
merah dan jingga
menyilaukan balutan kelopak mata
kureguk sinaran di ufuk jauh
seakan ingin kudamaikan hatiku
ingin kudekap pulas mentari terakhir kali
sebelum malam beranjak mengajaknya pergi
hingga pagi menuntun embun
untuk perciki senyuman baru
di pagi nan jelita
nafasku pun tertinggal dalam awan dan pelangi
sesaat mentari pergi
diam bisu di keranda waktu
menyisakan segenggam larut madu
di bibir hariku
180412
kau menafsirkan berjuta rasa cinta
merah dan jingga
menyilaukan balutan kelopak mata
kureguk sinaran di ufuk jauh
seakan ingin kudamaikan hatiku
ingin kudekap pulas mentari terakhir kali
sebelum malam beranjak mengajaknya pergi
hingga pagi menuntun embun
untuk perciki senyuman baru
di pagi nan jelita
nafasku pun tertinggal dalam awan dan pelangi
sesaat mentari pergi
diam bisu di keranda waktu
menyisakan segenggam larut madu
di bibir hariku
180412
CAHAYA HATI
aku bahasakan engkau matahari
sebab sinarmu tak henti menyinariku
saat kulelah dan terjatuh
kau hangatkan semangatku
kau embunkan luka laraku
seakan kau bintang dalam gelap berhujan pekat
Dan aku melintasi padangmu bak seekor kupu tersesat dalam pelukan bunga dan madu impian
Aku bahasakan dirimu rindu
sebab engkau putih dalam perjalananku
kau semaikan kasih dengan ketulusanmu
bukan lantaran sebab kau pecinta sejatiku.
sebab sinarmu tak henti menyinariku
saat kulelah dan terjatuh
kau hangatkan semangatku
kau embunkan luka laraku
seakan kau bintang dalam gelap berhujan pekat
Dan aku melintasi padangmu bak seekor kupu tersesat dalam pelukan bunga dan madu impian
Aku bahasakan dirimu rindu
sebab engkau putih dalam perjalananku
kau semaikan kasih dengan ketulusanmu
bukan lantaran sebab kau pecinta sejatiku.
SEPI
setitik sepi
kureguk damai dalam hati
setelah berputar dengan bising
dan ombak jalan yang kian palsu
Setitik sepi
mencuri mimpi
meluruhkan semua resah hati
dan menjalin satu ikatan suci
serupa tikaman belati
atau bayang bayang menari
memaparkan legam elegi
sebuah rasa yang jauh pergi
sisakan biru di lantai hati
seusai lekap malam menjemput jingga pagi
kembali menitis di jejak hari
120412
kureguk damai dalam hati
setelah berputar dengan bising
dan ombak jalan yang kian palsu
Setitik sepi
mencuri mimpi
meluruhkan semua resah hati
dan menjalin satu ikatan suci
serupa tikaman belati
atau bayang bayang menari
memaparkan legam elegi
sebuah rasa yang jauh pergi
sisakan biru di lantai hati
seusai lekap malam menjemput jingga pagi
kembali menitis di jejak hari
120412
Hakmu Untuk Menggapainya
teman teman
jika dunia semuanya makan ayam
dan kau sukanya sapi
kayaknya udah saatnya untuk bilang,
aku suka sapi
ketika orang orang disekitarmu memelihara walet
dan kau sukanya merpati
kayaknya udah saatnya untuk bikin
sarang merpati yang paling kamu impi impikan
dan teriak, ini yang aku mau !
ketika kau ingin memahat gunung,
ketika semua orang ingin terbang ke udara dan berjalan jalan
getarkan di hati
getarkan dengan keras di hati
yang kau mau, yang kau inginkan
karena kamu berhak tuk menggapainya
jika dunia semuanya makan ayam
dan kau sukanya sapi
kayaknya udah saatnya untuk bilang,
aku suka sapi
ketika orang orang disekitarmu memelihara walet
dan kau sukanya merpati
kayaknya udah saatnya untuk bikin
sarang merpati yang paling kamu impi impikan
dan teriak, ini yang aku mau !
ketika kau ingin memahat gunung,
ketika semua orang ingin terbang ke udara dan berjalan jalan
getarkan di hati
getarkan dengan keras di hati
yang kau mau, yang kau inginkan
karena kamu berhak tuk menggapainya
Nafas
rona nafas kita
perlahan terhembus
juga waktu hidup
yang kini ada,
masih terjaga di sisi dunia
terbata bata
mencoba mengucap lafadz
mencoba menjadi lebih berguna
hati yang kadang candu
dengan segala kekeruhan
yang dirasa bagian dari kenikmatan
hati yang kadang sendu
akibat terlalu jauh dari rasa bersyukur
hati yang kadang mencoba untuk berbohong
untuk mengelabui diri sendiri
dari kebenaran
terbata bata
terus mencoba mengucap lafadz
mencoba menjadi lebih berguna
perlahan terhembus
juga waktu hidup
yang kini ada,
masih terjaga di sisi dunia
terbata bata
mencoba mengucap lafadz
mencoba menjadi lebih berguna
hati yang kadang candu
dengan segala kekeruhan
yang dirasa bagian dari kenikmatan
hati yang kadang sendu
akibat terlalu jauh dari rasa bersyukur
hati yang kadang mencoba untuk berbohong
untuk mengelabui diri sendiri
dari kebenaran
terbata bata
terus mencoba mengucap lafadz
mencoba menjadi lebih berguna
Menembus Kedalaman
lautan teduh
jernih biru cerah
mengambang di pertengahan
di antara hamburan air tenang
matahari pagi dan sinarnya
yang terombang ambing ombak
menerangi dasar lautan
pasir putih di antara karang karang
nyaman dalam dekapan
tabung udara yang baru terisi penuh
begitu sunyi
kulihat mutiara
berkilau di antara ketiadaan
memukau
jernih biru cerah
mengambang di pertengahan
di antara hamburan air tenang
matahari pagi dan sinarnya
yang terombang ambing ombak
menerangi dasar lautan
pasir putih di antara karang karang
nyaman dalam dekapan
tabung udara yang baru terisi penuh
begitu sunyi
kulihat mutiara
berkilau di antara ketiadaan
memukau
Langit pagi
Langit pagi ini masih berjelaga
terhisap racun dunia
yang berulah seenak semaunya
tak peduli menginjak bara dan lara
kurenungi sebutir embunku
yang kusentuh dalam dingin
kuluruhkan airmataku
dalam semua yang menyebut rindu
kusayangi dirimu
meski kerap pedih lukaiku
tak apa
bila darahku
menawarkan kepuasanmu.
Aku hanya sebentar singgah
di sini..
Sudah itu akan luruh bersama daun yang jatuh erguguran
saling membisu
100412
terhisap racun dunia
yang berulah seenak semaunya
tak peduli menginjak bara dan lara
kurenungi sebutir embunku
yang kusentuh dalam dingin
kuluruhkan airmataku
dalam semua yang menyebut rindu
kusayangi dirimu
meski kerap pedih lukaiku
tak apa
bila darahku
menawarkan kepuasanmu.
Aku hanya sebentar singgah
di sini..
Sudah itu akan luruh bersama daun yang jatuh erguguran
saling membisu
100412
Sabtu, 14 April 2012
Ketika Kearifan Mulai Runtuh
Ingin hati terlelap
Dalam hening sekejap
Hingar biar lesap
Deru pun ikut lenyap
Apa yang terdengar
Saat pecah bingar
Buat rasa bergetar
Tak teraba oleh nalar
Nyaniannya adalah luka
Dilantunkan bersama duka
Memaksa suram terbuka
Dari celah tak tereka
Lihatlah kini seisi dunia
Telah renta dimakan usia
Hingga terkikis sifat mulia
Menertawakan antar manusia
Tak ada lagi jiwa tersentuh
Pada mereka yang berpeluh
Menahan tempaan angkuh
Ditengah kearifan yang runtuh
Musnah sudah tutur anggun
Sikap bersahaja hanyalah lamun
Tiada lembut kata tersusun
Mati sudah nilai sopan santun
"MENERTAWAKAN KEKURANGAN ORANG LAIN SEBAGAI LELUCON, SEPERTINYA TELAH MENJADI PENYAKIT KRONIS BANGSA INI. DENGAN ALASAN MENGHIBUR, MENGHALALKAN PERENDAHAN FISIK DAN KEEMAMPUAN ORANG LAIN SEBAGAI HUMOR. LALU APA GUNANYA PENDIDIKAN MORAL YANG DIBERIKAN? MARI MENJADI GENERASI YANG LEBIH CERDAS MEMILIH BAHAN HUMOR!"
Dalam hening sekejap
Hingar biar lesap
Deru pun ikut lenyap
Apa yang terdengar
Saat pecah bingar
Buat rasa bergetar
Tak teraba oleh nalar
Nyaniannya adalah luka
Dilantunkan bersama duka
Memaksa suram terbuka
Dari celah tak tereka
Lihatlah kini seisi dunia
Telah renta dimakan usia
Hingga terkikis sifat mulia
Menertawakan antar manusia
Tak ada lagi jiwa tersentuh
Pada mereka yang berpeluh
Menahan tempaan angkuh
Ditengah kearifan yang runtuh
Musnah sudah tutur anggun
Sikap bersahaja hanyalah lamun
Tiada lembut kata tersusun
Mati sudah nilai sopan santun
"MENERTAWAKAN KEKURANGAN ORANG LAIN SEBAGAI LELUCON, SEPERTINYA TELAH MENJADI PENYAKIT KRONIS BANGSA INI. DENGAN ALASAN MENGHIBUR, MENGHALALKAN PERENDAHAN FISIK DAN KEEMAMPUAN ORANG LAIN SEBAGAI HUMOR. LALU APA GUNANYA PENDIDIKAN MORAL YANG DIBERIKAN? MARI MENJADI GENERASI YANG LEBIH CERDAS MEMILIH BAHAN HUMOR!"
Senin, 09 April 2012
DOKUMENTASI PUISI ASRUL SANI
oleh Pakde Azir

Ia merupakan anak bungsu dari tiga orang bersaudara. Ayahnya, Sultan Marah Sani Syair Alamsyah Yang Dipertuan Padang Nunang Rao Mapat Tunggul Mapat Cacang, merupakan kepala adat Minangkabau di daerahnya. Ibunya Nuraini binti Itam Nasution, adalah seorang keturunan Mandailing.
Asrul menyelesaikan pendidikan dasar di kampung halamannya Pasaman, Sumatera Barat. Selesai dari Sekolah Rakyat di Rao, Asrul merantau ke Jakarta untuk belajar di Sekolah Teknik, lalu masuk ke Fakultas Kehewanan Universitas Indonesia (sekarang IPB). Dia sempat pindah ke Fakultas Sastra UI, namun kembali lagi hingga tamat memperoleh titel dokter hewan (1955). Setelah itu dia mengikuti seminar internasional mengenai kebudayaan di Universitas Harvard (1954), memperdalam pengetahuan tentang dramaturgi dan sinematografi di Universitas California Selatan, Los Angeles, Amerika Serikat (1956), dan kemudian membantu Sticusa di Amsterdam (1957-1958).
Bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin, ia mendirikan "Gelanggang Seniman" (1946) dan secara bersama-sama pula menjadi redaktur "Gelanggang" dalam warta sepekan Siasat. Selain itu, Asrul pun pernah menjadi redaktur majalah Pujangga Baru, Gema Suasana (kemudian Gema), Gelanggang (1966-1967), dan terakhir sebagai pemimpin umum Citra Film (1981-1982).
Asrul pernah menjadi Direktur Akademi Teater Nasional Indonesia, Ketua Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi), anggota Badan Sensor Film, Ketua Dewan Kesenian Jakarta, anggota Dewan Film Indonesia, dan anggota Akademi Jakarta.
Selain dikenal sebagai penyair dan sutradara film, Asrul juga merupakan seorang politisi. Sejak tahun 1966 hingga 1971, dia duduk di parlemen mewakili Partai Nahdlatul Ulama, dan berlanjut hingga tahun 1982 mewakili Partai Persatuan Pembangunan. Tahun 2000 Asrul menerima penghargaan Bintang Mahaputra dari Pemerintah RI.
ON TEST
Engkau akan kubawa pergi
Dari candi ini
Ke tempat di mana manusia ada
Coba, coba
Di sana kata
Tidak hanya punya kita
Dan cinta mungkin kabur
Dalam kabut debu
Dan hidup menderu
Melingkungi engkau dan aku
Jalan panjang
Sampai di mana dunia terkembang?
Mata terlalu singkat untuk itu
Panjang jangan reka
Tujuan jangan terka
Pandang, di sana ada mereka,
Di sana ada mereka
Engkau akan kubawa pergi
Dari candi ini
Ke dunia: hidup air-dan-api
ORANG DALAM PERAHU
Hendak ke mana angin buritan ini
membawa daku
sedang laut tawar tiada mau tahu
dan bintang, tiada
pemberi pedoman tentu
Ada perempuan di sisiku
sambil tersenyum
bermain-main air biru
memandang kepada panji-panji
di puncak tiang buritan
dan berkata
"Ada burung camar di jauhan!”
Cahaya bersama aku
Permainan mata di tepi langit
akan hilang sekejap waktu
Aku berada di bumi luas,
Laut lepas
Aku lepas
Hendak ke mana angin buritan
membawa daku
DONGENG BUAT BAYI ZUS PANDU
Sintawati datang dari Timur,
Sintawati menyusur pantai
Ia cium gelombang melambung tinggi
Ia hiasi dada dengan lumut muda,
Ia bernyanyi atas karang sore dan pagi,
Sintawati telah datang dengan suka sendiri
Sintawati telah lepaskan ikatan duka
Sintawati telah belai nakhoda tua,
Telah cumbu petualang berair mata
Telah hiburkan perempuan-perempuan bernantian
di pantai senja
Jika turun hujan terlahir di laut
Berkapalan elang pulang ke benua
Sintawati telah tunggu dengan wama biang-lala,
Telah bawa bunga, telah bawa dupa
Sintawati mengambang di telaga gunung,
Dan panggil orang utas yang beryakinkan kelabu
Telah menakik haruman pada batang tua,
Telah dendangkan syair dari gadis remaja
Sintawati telah menyapu debu dalam kota
Telah mendirikan menara di candi-candi tua,
Sintawati telah bawa terbang cuaca,
Karena Sintawati senantiasa bercinta
Sintawati datang dari Timur,
Sintawati telah datang ..........
.......... datang,
Sinta
datang ......!
Sebagai kenangan kepada Amir Hamzah
PENYAIR YANG TERBUNUH
Ciumlah pinggir kejauhan
tangan terkulai karena revolusi !
Tinggalkanlah ribaan bunda
dan mari kita iringkan desir air di pasir
nikmati tokoh perawan dan gadis penari !
Kembangkan layar ! Pelaut remaja,
Baringkanlah diri di-timbaruang
dan pandang bintang tiada tertambat di pantai
Rahasia kita hanya disembunyikan laut,
Tiada mungkin di sana hati merindu lagi
Sayang engkau tiada kenal gelombang,
Gelombang dari rahasia pencalang
gelombang dari nakhoda yang tiada tahu pulang.
Kami akan selamanya cintakan engkau,
engkau penyair !
Lagu yang dulu kau dendangkan atas kertas gersang
Nanti kami rendam di laut terkembang.
Hati kita akan sama selalu,
dari waktu sampai waktu,
Apa yang akan kita bisikan senja ini
Akan jadi suara lantang di waktu pagi.
Simpanlah kertas dan pena
Hanya yang bernyawa
yang akan hidup selalu.
Sendu yang kaurasa,
di pagi kami telah membuka cahaya.
VARIASI ATAS SUATU TANGGAPAN SESAT
Petandang mendendangkan kuda kampung di jalan sunyi
Pada malam yang jatuh kerut merut ke bumi
Serta rindu dendam dan matahari
Nanti berakhir pada burung bernyanyi, dan budak-kecil sunyi sendiri
Lamban jatuh tali-temali
Dan berduka camar yang bertengger di tiang tinggi
Serta rindu dendam gelombang dan matahari
Nanti berakhir pada arus tiada berperi, dan pemukat sunyi sendiri
Ambillah keluhan dan buang segala sedu-sedan
Berlupa sementara akan keliling yang mengikat
Dan kita mau berlepas untuk suatu kenyataan-merdeka,
Selamat saat masih sibuk dengan asmara sendu
Jangan tunggu sampai kuda kampung bebas dari bersunyi,
Burung camar tiada lagi bertengger di tiang tinggi,
Harga besar, tetapi waktu singkat
Lambai kekasih! Putar kemudi dan mari berlari
Kuda dan camar telah berlepas dari yang sementara
Dan kini larut dari lesu dan kerja
Kita juga tidak lagi mau perduli,
Ada ruang dalam kelemahan malam untuk persiapan besok pagi!
POTRET SENDIRI AKHIR TAHUN ‘50
Tiada lagi, kenangan! Tiada lagi
Jalan kembali telah terkunci,
Pasir mersik beterbangan melarikan jejak kaki,
Tulang-tulang dada sampai meranggah,
Berderik merih karena cekikan
Tetapi pandangan terakhir telah terlupa
Memang kota yang kudekati,
telah kelabu tenggelam dalam peresapan
Serta perburuan si pongang telapak
pada dinding dan ruh-ruh yang telah penasaran
Jalan-jalan lengang, di lorong-lorong tiada lagi
terdengar pekikan
Toh aku mesti jalan,
Kaki berpasang-pasangan, mata ikuti sosok tubuhku,
Tapi ini mata pun mata mati
mati dari mulut yang tiada akan bercerita lagi
Ada hati, kalau betul ada hati
Ia merasa kasihan dengan tiada perlu
Dalam mencari kawan baru
Aku hanya ingin menafaskan udara lain
Orang liwat jurang dan tinggalkan dataran
Jika hasil adalah: belati tadi ada di sisi
sekarang tertancap di dada sendiri
Maka kata akhir bukan lagi padaku
Hasil boleh datang kapan ia mau
P E N G A K U A N
Akulah musafir yang mencari Tuhan
Atas runtuhan gedung dan dada yang remuk
Dalam waktu tiada kenal berdiam dan samadi
Serta kepercayaan pada cinta yang hilang bersama kabut pagi
Akulah yang telah berperi
Tentang kerinduan akan penyelesaian yang tamat,
Dari manusia, dari dunia dan dari Tuhan
Ah, bumi yang mati,
Lazuardi yang kering
Bagaimana aku masih dapat,
Menyayangkan air mata berlinang
dari kembang kerenyam yang kering
Sedang kota-kota dan rumah-rumah bambu
lebih rendah dari wajah lautan
Satu-satu masih terbayang antara pelupuk mata
telah hampir terkatup,
Karena murtad. karena tiada percaya
Karena lelah, karena tiada punya ingatan,
Suatu lukisan dari deru air berlayar atas lunas
berganti-ganti bentuk
Dari suatu lembah gelap dan suram
Menguapkan kabut mati dari suatu kerahasiaan,
Tuhan yang berkata
Akulah musafir yang mencari Tuhan,
Dalam negeri batu retak
Lalang dan api yang siap bertemu
Suatu kisah sedih dari sandiwara yang lucu,
Dari seorang pencari rupa,
Dari rupa yang tiada lagi dikenalnya
Perawan ringan, perawan riang
Berlagulah dalam kebayangan
Berupa warena
Berupa wareni,
Dan berlupalah sebentar akan kehabisan umur
Marilah bermain
Marilah berjalin tangan
Jangan ingat segala yang sedih,
Biarkanlah lampu-lampu kelip
Lebih samar dari sinar surya senja
Kita akan bermain,
Dan tidur pulas, sampai
Datang lagi godaan:
"Akulah musafir yang mencari Tuhan”
M A N T E R A
Raja dari batu hitam,
di balik rimba kelam,
Naga malam,
mari kemari !
Aku laksamana dari lautan menghantam malam hari
Aku panglima dari segala burung rajawali
Aku tutup segala kota, aku sebar segala api,
Aku jadikan belantara, jadi hutan mati
Tapi aku jaga supaya janda-janda tidak diperkosa
Budak-budak tidur di pangkuan bunda
Siapa kenal daku, aku kenal bahagia
tiada takut pada pitam,
tiada takut pada kelam
pitam dan kelam punya aku
Raja dari batu hitam,
Di balik rimba kelam,
Naga malam,
Mari kemari !
Jaga segala gadis berhias diri,
Biar mereka pesta dan menari
Meningkah rebana
Aku akan menyanyi,
Engkau berjaga dari padam api timbul api.
Mereka akan terima cintaku
Siapa bercinta dengan daku,
Akan bercinta dengan tiada akhir hari
Raja dari batu hitam
Di balik rimba kelam,
Naga malam,
Mari kemari
Mari kemari,
Mari !
LAGU DARIPADA PASUKAN TERAKHIR
Pada tapal terakhir sampai ke Jogja
bimbang telah datang pada nyala
langit telah tergantung suram
kata-kata berantukan pada arti sendiri.
Bimbang telah datang pada nyala
dan cinta tanah air akan berupa
peluru dalam darah
serta nilai yang bertebaran sepanjang masa
bertanya akan kesudahan ujian
mati atau tiada mati-matinya
O Jendral, bapa, bapa,
tiadakan engkau hendak berkata untuk kesekian kali
ataukah suatu kehilangan keyakinan
hanya kanan tetap tinggal pada tidak-sempurna
dan nanti tulisan yang telah diperbuat sementara
akan hilang ditup angin, karena
ia berdiam di pasir kering
O Jenderal, kami yang kini akan mati
tiada lagi dapat melihat kelabu
laut renangan Indonesia.
O Jendral, kami yang kini akan jadi
tanah, pasir, batu dan air
kami cinta kepada bumi ini
Ah mengapa pada hari-hari sekarang,
matahari sangsi akan rupanya,
dan tiada pasti pada cahaya
yang akan dikirim ke bumi.
Jendral, mari Jendral
mari jalan di muka
mari kita hilangkan sengketa ucapan
dan dendam kehendak pada cacat-keyakinan,
engkau bersama kami, engkau bersama kami
Mari kita tinggalkan ibu kita
mari kita biarkan istri dan kekasih mendoa
mari jendral mari
sekali in derajat orang pencari dalam bahaya,
mari jendral mari jendral mari, mari .......
KEKASIH YANG KELU
Untuk seorang sahabat
Air mata, adalah sekali ini air mata dari hati
yang mengandung durja,
Dan kelulah kekasih senantiasa berpisah
Tiadalah lagi senyum yang akan timbul karena suatu kemenangan
Habislah segala kenangan-selalu pada fajar-selalu
yang membawa harap.
Sudah tahu, suatu kesalahan sekali,
Telah merobah titik asal harap,
Dan karena gelombang yang memukul tinggi
dengan segala rahasia dan senjata yang ada dalam kerajaannya
Telah jadikan suatu cinta yang marak-hidup lepas dari lembaga
Dan gamitan tangan dan mata berhenti pada suatu keluh
sedan dari jiwa yang berduka.
Bangunlah kekasih, berilah daku bahagia,
Dari segala cahaya yang ada padamu.
Bagiku, keluhan yang lama akan
mematikan segala tindakan,
Membuat lagak tidak punya tokoh
Ucapan kehilangan asal dan bekas
Serta ini pulau-banyak dan intan laut yang kukasihi,
Akan menjadi suatu bencana dari kelumpuhan orang berpenyakit pitam
Aku akan hilang-lenyap, tiada meninggalkan nama.
Suatu sedih sangsai dari diriku,
Atas suatu panggilan dengan suara kecil
Dari laki-laki di depan laut di belakang gunung.
Berikan suatu pekikan peri,
Dan ini akan lebih membujuk
Dari suatu mulut terbuka, tapi tiada berkata.
Air mata yang terbayang, tetapi tiada berlinang
Dari suatu kebisuan, dari suatu kebisuan
Jika ini adalah suatu impian,
Maka janganlah bermimpi,
bagaimanapun terang malam.
Sedang daku akan berjaga,
sampai sosok tali dan tiang
tergantung pada sinar pagi yang timbul.
Suatu khianat yang telah memakan cinta
suatu kebakhilan manusia yang enggan beryakin
suatu noda,
Dan suatu derita dan keluh yang mengelu
......................
Demikianlah sahabat mari berdoa,
mari berdoa,
kita akan berdoa,
kita akan berdoa, kita akan berdoa
kita akan berdoa, untuk pagi hari yang akan timbul
SURAT DARI IBU
Pergi ke dunia luas, anakku sayang
pergi ke dunia bebas!
Selama angin masih angin buritan
dan matahari pagi menyinar daun-daunan
dalam rimba dan padang hijau
Pergi ke laut lepas, anakku sayang
pergi ke alam bebas!
Selama hari belum petang
dan warna senja belum kemerah-merahan
menutup pintu waktu lampau
Jika bayang telah pudar
dan elang laut pulang ke sarang
angin bertiup ke benua
Tiang-tiang akan kering sendiri
dan nakhoda sudah tahu pedoman
boleh engkau datang padaku!
Kembali pulang, anakku sayang
kembali ke balik malam!
Jika kapalmu telah rapat ke tepi
Kita akan bercerita
“Tentang cinta dan hidupmu pagi hari"
ELANG LAUT
Ada elang laut terbang
senja hari
antara jingga dan merah
surya hendak turun,
pergi ke sarangnya
Apakah ia tahu juga,
bahwa panggilan cinta
tiada ditahan kabut
yang menguap pagi hari?
Bunyinya menguak suram
lambat-lambat
mendekat, ke atas runyam
karang putih,
makin nyata
Sekali ini jemu dan keringat
tiada akan punya daya
tapi topan tiada mau
dan rnengembus ke alam luas
Jatuh elang laut
ke air biru, tenggelam
dan tiada timbul lagi
Rumahnya di gunung kelabu
akan terus sunyi.
Satu-satu akan jatuh membangkai
ke bumi, bayi-bayi kecil tiada bersuara
Hanya anjing,
malam hari meraung menyalak bulan
yang melengkung sunyi
Suaranya melandai
turun ke pantai
Jika segala
senyap pula,
berkata pemukat tua:
"Anjing meratapi orang mati!"
Elang laut telah hilang ke lunas kelam
topan tiada bertanya
hendak ke mana dia
Dan makhluk kecil
yang membangkai di bawah
pohon eru, tiada pula akan berkata:
"Ibu kami tiada pulang"
E L E G I
Ia yang hendak mencipta,
menciptalah atas bumi ini.
Ia yang akan tewas,
tewaslah karena kehidupan.
Kita yang mau mencipta dan akan tewas
akan berlaku untuk ini dengan cinta,
dan akan jatuh seperti permata mahkota
berderi sebutir demi sebutir
Apa juga masih akan tiba,
Mesra yang kita bawa, tiadalah
kita biarkan hilang karena hisapan pasir
Engkau yang telah berani menyerukan
Kebenaranmu dari gunung dan keluasan
Sekali masa akan ditimpa angin dan hujan
Jika suaramu hilang dan engkau mati.
Maka kami akan berduka, dan kawan
menghormat bersama kekasih kami.
Kita semua berdiri di belakang tapal,
Dari suatu malam ramai,
Dari suatu kegelapan tiada berkata,
Dari waktu terlalu cepat dan kita mau tahan,
Dari perceraian — tiada mungkin,
Dan sinar mata yang tiada terlupakan.
Serulah, supaya kita ada dalam satu barisan,
Serulah, supaya jangan ada yang sempat merindukan senja,
Terik yang keras tiada lagi akan sanggup
mengeringkan kembang kerenyam
Pepohonan sekali lai akan berdahan panjang
Dan buah-buahan akan matang pada tahun yang akan datang.
Laut India akan melempar parang
Bercerita dari kembar cinta dan perceraian
Aku akan minta, supaya engkau
Berdiri curam, atas puncak dibakar panas
dan sekali lagi berseru, akan pelajaran baru.
Waktu itu angin Juni akan bertambah tenang
Karena bulan berangkat tua
Kemarau akan segan kepada bunga yang telah berkembang.
Di sini telah datang suatu perasaan,
Serta kita akan menderita dan tertawa.
Tawa dan derita dari yang tewas
yang mencipta .....
ANAK LAUT
Sekali ia pergi tiada bertopi
Ke pantai landasan matahari
Dan bermimpi tengah hari
Akan negeri di jauhan
Pair dan air seakan
Bercampur. Awan
tiada menutup
mata dan hatinya rindu
melihat laut terbentang biru
Sekali aku pergi
dengan perahu
ke negeri jauhan
dan menyanyi
kekasih hati
lagu merindukan
daku
Tenggelam matahari
Ufuk sana tiada nyata
bayang-bayang bergerak perlahan
aku kembali kepadanya
Sekali ia pergi tiada bertopi
Ke pantai landasan matahari
Dan bermimpi tengah hari
Akan negeri di jauhan
Minggu, 08 April 2012
Rekah Kuncup Syukur
Ceritakanlah tentang pagi
Yang jadi pembuka elegi
Berkisah tentang kehidupan
Yang terkadang memilukan
Dalam rentetan kata
Berbaris butir airmata
Begitu panjangnya hari
Nanti tak cukup yang diberi
Senyum ini tetaplah hambar
Bila syukur tak jua terlontar
Kadang berlari, juga tertatih
Pernah berseri, pun merintih
Maka hanya dalam sujud
Sejatinya bahagia terwujud
Mestinya meniti tiap langkah
Dari kuncup syukur merekah
Yang jadi pembuka elegi
Berkisah tentang kehidupan
Yang terkadang memilukan
Dalam rentetan kata
Berbaris butir airmata
Begitu panjangnya hari
Nanti tak cukup yang diberi
Senyum ini tetaplah hambar
Bila syukur tak jua terlontar
Kadang berlari, juga tertatih
Pernah berseri, pun merintih
Maka hanya dalam sujud
Sejatinya bahagia terwujud
Mestinya meniti tiap langkah
Dari kuncup syukur merekah
Sabtu, 07 April 2012
DOKUMENTASI PUISI TAUFIQ ISMAIL
oleh Pakde Azir

Semasa kuliah aktif dalam organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII), Ketua Senat Mahasiswa FKHP-UI (1960-1961) dan Wakil Ketua Dewan Mahasiswa UI (1961-1962).
Di Bogor pernah jadi guru di SKP Pamekar dan SMA Regina Pacis, juga mengajar di IPB. Karena menandatangani Manifesto Kebudayaan, gagal melanjutkan studi manajemen peternakan di Florida (1964) dan dipecat sebagai dosen di IPB.
Ia menulis di berbagai media, jadi wartawan, salah seorang pendiri Horison (1966), ikut mendirikan DKJ dan jadi pimpinannya, Pj. Direktur TIM, Rektor LPKJ dan Manajer Hubungan Luar Unilever. Penerima beasiswa AFS International Scholarship, sejak 1958 aktif di AFS Indonesia, menjabat sebagai Ketua Dewan Pembina Yayasan Bina Antarbudaya, penyelenggara pertukaran pelajar antarbangsa yang selama 41 tahun (sejak 1957) telah mengirim 1.700 siswa ke 15 negara dan menerima 1.600 siswa asing di sini.
Pengkategoriannya sebagai penyair Angkatan '66 oleh Hans Bague Jassin merisaukannya, misalnya dia puas diri lantas proses penulisannya macet. Ia menulis buku kumpulan puisi, seperti Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia, Tirani dan Benteng, Tirani, Benteng, Buku Tamu Musim Perjuangan, Sajak Ladang Jagung, Kenalkan, Saya Hewan, Puisi-puisi Langit, Prahara Budaya:Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI dkk, Ketika Kata Ketika Warna, Seulawah – Antologi Sastra Aceh, dan lain-lain.
Banyak puisinya dinyanyikan Himpunan Musik Bimbo, pimpinan Samsudin Hardjakusumah, atau sebaliknya ia menulis lirik buat mereka dalam kerja sama. Iapun menulis lirik buat Chrisye, Yan Antono (dinyanyikan Ahmad Albar) dan Ucok Harahap. Menurutnya kerjasama semacam ini penting agar jangkauan publik puisi lebih luas.
Taufiq sering membaca puisi di depan umum. Di luar negeri, ia telah baca puisi di berbagai festival dan acara sastra di 24 kota Asia, Australia, Amerika, Eropa, dan Afrika sejak 1970. Baginya, puisi baru ‘memperoleh tubuh yang lengkap’ jika setelah ditulis, dibaca di depan orang.
Bosan dengan kecenderungan puisi Indonesia yang terlalu serius, di awal 1970-an menggarap humor dalam puisinya. Sentuhan humor terasa terutama dalam puisi berkabar atau narasinya. Antologi puisi humornya berjudul Rendez-Vous diterbitkan di Rusia dalam terjemahan Victor Pogadaev dan dengan ilustrasi oleh Aris Aziz dari Malaysia (2004.)
(1) 1946 : LARUT MALAM SUARA SEBUAH TRUK
Sebuah Lasykar truk
Masuk kota Salatiga
Mereka menyanyikan lagu
'Sudah Bebas Negeri Kita'
Di jalan Tuntang seorang anak kecil
Empat tahun terjaga :
'Ibu, akan pulangkah Bapa,
dan membawakan pestol buat saya ?'
1963
(2) BAGAIMANA KALAU
Bagaimana kalau dulu bukan khuldi yang dimakan Adam, tapi buah alpukat,
Bagaimana kalau bumi bukan bulat tapi segi empat,
Bagaimana kalau lagu Indonesia Raya kita rubah,
dan kepada Koes Plus kita beri mandat,
Bagaimana kalau ibukota Amerika Hanoi,
dan ibukota Indonesia Monaco,
Bagaimana kalau malam nanti jam sebelas,
salju turun di Gunung Sahari,
Bagaimana kalau bisa dibuktikan bahwa Ali Murtopo, Ali Sadikin dan Ali Wardhana
ternyata pengarang-pengarang lagu pop,
Bagaimana kalau hutang-hutang Indonesia
dibayar dengan pementasan Rendra,
Bagaimana kalau segala yang kita angankan terjadi,
dan segala yang terjadi pernah kita rancangkan,
Bagaimana kalau akustik dunia jadi sedemikian sempurnanya
sehingga di kamar tidur kau dengar deru bom Vietnam, gemersik sejuta kaki
pengungsi, gemuruh banjir dan gempa bumi sera suara-suara
percintaan anak muda, juga bunyi industri presisi dan margasatwa Afrika,
Bagaimana kalau pemerintah diizinkan protes
dan rakyat kecil mempertimbangkan protes itu,
Bagaimana kalau kesenian dihentikan saja sampai di sini
dan kita pelihara ternak sebagai pengganti
Bagaimana kalau sampai waktunya
kita tidak perlu bertanya bagaimana lagi.
1971
(3) BAYI LAHIR BULAN MEI 1998
Dengarkan itu ada bayi mengea di rumah tetangga
Suaranya keras, menangis berhiba-hiba
Begitu lahir ditating tangan bidannya
Belum kering darah dan air ketubannya
Langsung dia memikul hutang di bahunya
Rupiah sepuluh
Kalau dia jadi petani di desa
Dia akan mensubsidi harga beras orang kota
Kalau dia jadi orang kota
Dia akan mensubsidi bisnis pengusaha kaya
Kalau dia bayar pajak
Pajak itu mungkin jadi peluru runcing
Ke pangkal aortanya dibidikkan
Cobalah nasihati bayi ini dengan penataran juga
Mulutmu belum selesai bicara
Kau pasti dikencinginya
1998
(4) BUKU TAMU MUSIUM PERJUANGAN
Pada tahun keenam
Setelah di kota kami didirikan
Sebuah Musium Perjuangan
Datanglah seorang lelaki setengah baya
Berkunjung dari luar kota
Pada sore bulan November berhujan
dan menulis kesannya di buku tamu
Buku tahun keenam, halaman seratus-delapan
Bertahun-tahun aku rindu
Untuk berkunjung kemari
Dari tempatku jauh sekali
Bukan sekedar mengenang kembali
Hari tembak-menembak dan malam penyergapan
Di daerah ini
Bukan sekedar menatap lukisan-lukisan
Dan potret-potret para pahlawan
Mengusap-usap karaben tua
Baby mortir buatan sendiri
Atau menghitung-hitung satyalencana
Dan selalu
Alangkah sukarnya bagiku
Dari tempatku kini, yang begitu jauh
Untuk datang seperti saat ini
Dengan jasad berbasah-basah
Dalam gerimis bulan November
Datang sore ini, menghayati musium yang lengang
Sendiri
Menghidupkan diriku kembali
Dalam pikiran-pikiran waktu gerilya
Di waktu kebebasan adalah impian keabadian
Dan belum berpikir oleh kita masalah kebendaan
Penggelapan dan salahguna
Begitulah aku berjalan pelan-pelan
Dalam musium ini yang lengang
Dari lemari kaca tempat naskah-naskah berharga
Kesangkutan ikat-ikat kepala, sangkur-sangkur
berbendera
Maket pertempuran
Dan penyergapan di jalan
Kuraba mitraliur Jepang, dari baja hitam
Jajaran bisu pestol Bulldog, pestol Colt
PENGOEMOEMAN REPOEBLIK yang mulai berdebu
Gambar lasykar yang kurus-kurus
Dan kuberi tabik khidmat dan diam
Pada gambar Pak Dirman
Mendekati tangga turun, aku menoleh kembali
Ke ruangan yang sepi dan dalam
Jendela musium dipukul angin dan hujan
Kain pintu dan tingkap bergetaran
Di pucuk-pucuk cemara halaman
Tahun demi tahun mengalir pelan-pelan
Deru konvoi menjalari lembah
Regu di bukit atas, menahan nafas
Di depan tugu dalam musium ini
Menjelang pintu keluar ke tingkat bawah
Aku berdiri dan menatap nama-nama
Dipahat di sana dalam keping-keping alumina
Mereka yang telah tewas
Dalam perang kemerdekaan
Dan setinggi pundak jendela
Kubaca namaku disana .....
GUGUR DALAM PENCEGATAN
TAHUN EMPATPULUH-DELAPAN
Demikian cerita kakek penjaga
Tentang pengunjung lelaki setengah baya
Berkemeja dril lusuh, dari luar kota
Matanya memandang jauh, tubuh amat kurusnya
Datang ke musium perjuangan
Pada suatu sore yang sepi
Ketika hujan rinai tetes-tetes di jendela
Dan angin mengibarkan tirai serta pucuk-pucuk cemara
Lelaki itu menulis kesannya di buku-tamu
Buku tahun-keenam, halaman seratus-delapan
Dan sebelum dia pergi
Menyalami dulu kakek Aki
Dengan tangannya yang dingin aneh
Setelah ke tugu nama-nama dia menoleh
Lalu keluarlah dia, agak terseret berjalan
Ke tengah gerimis di pekarangan
Tetapi sebelum ke pagar halaman
Lelaki itu tiba-tiba menghilang
(5) DARI CATATAN SEORANG DEMONSTRAN
Inilah peperangan
Tanpa jenderal, tanpa senapan
Pada hari-hari yang mendung
Bahkan tanpa harapan
Di sinilah keberanian diuji
Kebenaran dicoba dihancurkn
Pada hari-hari berkabung
Di depan menghadang ribuan lawan
1966
(6) DARI IBU SEORANG DEMONSTRAN
"Ibu telah merelakan kalian
Untuk berangkat demonstrasi
Karena kalian pergi menyempurnakan
Kemerdekaan negeri ini"
Ya, ibu tahu, mereka tidak menggunakan gada
Atau gas airmata
Tapi langsung peluru tajam
Tapi itulah yang dihadapi
Ayah kalian almarhum
Delapan belas tahun yang lalu
Pergilah pergi, setiap pagi
Setelah dahi dan pipi kalian
Ibu ciumi
Mungkin ini pelukan penghabisan
(Ibu itu menyeka sudut matanya)
Tapi ingatlah, sekali lagi
Jika logam itu memang memuat nama kalian
(Ibu itu tersedu sedan)
Ibu relakan
Tapi jangan di saat terakhir
Kau teriakkan kebencian
Atau dendam kesumat
Pada seseorang
Walapun betapa zalimnya
Orang itu
Niatkanlah menegakkan kalimah Allah
Di atas bumi kita ini
Sebelum kalian melangkah setiap pagi
Sunyi dari dendam dan kebencian
Kemudian lafazkan kesaksian pada Tuhan
Serta rasul kita yang tercinta
pergilah pergi
Iwan, Ida dan Hadi
Pergilah pergi
Pagi ini
(Mereka telah berpamitan dengan ibu dicinta
Beberapa saat tangannya meraba rambut mereka
Dan berangkatlah mereka bertiga
Tanpa menoleh lagi, tanpa kata-kata)
1966
(7) JALAN SEGARA
Di sinilah penembakan
Kepengecutan
Dilakukan
Ketika pawai bergerak
Dalam panas matahari
Dan pelor pembayar pajak
Negeri ini
Ditembuskan ke pungung
Anak-anaknya sendiri
1966
(8) JAWABAN DARI POS TERDEPAN
Kami telah menerima surat saudara
Dan sangat paham akan isinya
Tetapi tentang pasal penyerahan
Itu adalah suatu penghinaan
Konvoi sejam lamanya menderu
Di kota. Api kavaleri memancar-mancar
Di roda-rantai dan aspal
Angin meniup dalam panas dan abu
Abu baja. Nyala yang menggeletar-geletar
Sepanjang suara
Kami yang bertahan
Beberapa ratus meter jauhnya
Bukanlah serdadu-serdadu bayaran
Atau terpaksa berperang karena pemerintahan
Kebebasan manusia di atas buminya
Adalah penyebab hadir pasukan ini
Dan pasukan-pasukan lainnya
Impian akan harga kemerdekaan manusia
mengumpulkan seorang tukang cukur, penanam-penanam sayur
gembala-gembala, (semua buta huruf) kecuali dua anak SMT
sopir taksi dan seorang mahasiswa kedokteran
dalam pasukan
di pos terdepan ini
Terik dan lengang dipandang tak bertuan
Abu naik perlahan dari bumi
Bumi yang telah diungsikan
Guruh dari jauh, konvoi menderu
Suara panser dan tank-tank kecil
Mengacukan senjata-senjata baru
Kami tidak punya batalion paratroop
Cadangan sulfa, apalagi mustang dan lapis-baja
Kami hanya memiliki karaben-karaben tua
Bahkan bambu pedesaan, ujungnya diruncingkan
Pasukan ini tak bicara dalam bahasa akademi militer
Tidak juga memiliki pengalaman perang dunia
Tetapi untuk kecintaan akan kebebasan manusia
Di atas buminya
Pasukan ini sudah menetapkan harganya
Sebentar lagi malampun akan turun
membawa kesepian ajal adalam gurun
Tidakkah engkau bisa menempatkan diri
sebentar, di tempat kami
Memikirkan bahwa ibumu tua diungsikan
tersaruk-saruk berjalan kaki
Setelah rumah-rumah di kampungmu dibakari
setelah adik kandungmu ditembak mati
Adakah demi lain, yang mengatasi
demi kemanusiaan ?
Adakah ?
Di seberang sini berjaga pengawalan
Tanpa gardu dan kemah, berbaju lusuh dalam semak
Dialah yang terdepan dengan sepucuk Lee & Field
Dialah huruf pertama dari Republik
1965
(9) KALIAN CETAK KAMI JADI BANGSA PENGEMIS,
LALU KALIAN PAKSA KAMI
MASUK MASA PENJAJAHAN BARU
Kata Si Toni
Kami generasi yang sangat kurang rasa percaya diri
Gara-gara pewarisan nilai, sangat dipaksa-tekankan
Kalian bersengaja menjerumuskan kami-kami
Sejak lahir sampai dewasa ini
Jadi sangat tepergantung pada budaya
Meminjam uang ke mancanegara
Sudah satu keturunan jangka waktunya
Hutang selalu dibayar dengan hutang baru pula
Lubang itu digali lubang itu juga ditimbuni
Lubang itu, alamak, kok makin besar jadi
Kalian paksa-tekankan budaya berhutang ini
Sehingga apa bedanya dengan mengemis lagi
Karena rendah diri pada bangsa-bangsa dunia
Kita gadaikan sikap bersahaja kita
Karena malu dianggap bangsa miskin tak berharta
Kita pinjam uang mereka membeli benda mereka
Harta kita mahal tak terkira, harga diri kita
Digantung di etalase kantor Pegadaian Dunia
Menekur terbungkuk kita berikan kepala kita bersama
Kepada Amerika, Jepang, Eropa dan Australia
Mereka negara multi-kolonialis dengan elegansi ekonomi
Dan ramai-ramailah mereka pesta kenduri
Sambil kepala kita dimakan begini
Kita diajarinya pula tata negara dan ilmu budi pekerti
Dalam upacara masuk masa penjajahan lagi
Penjajahnya banyak gerakannya penuh harmoni
Mereka mengerkah kepala kita bersama-sama
Menggigit dan mengunyah teratur berirama
Sedih, sedih, tak terasa jadi bangsa merdeka lagi
Dicengkeram kuku negara multi-kolonialis ini
Bagai ikan kekurangan air dan zat asam
Beratus juta kita menggelepar menggelinjang
Kita terperangkap terjaring di jala raksasa hutang
Kita menjebakkan diri ke dalam krangkeng budaya
Meminjam kepeng ke mancanegara
Dari membuat peniti dua senti
Sampai membangun kilang gas bumi
Dibenarkan serangkai teori penuh sofistikasi
Kalian memberi contoh hidup boros berasas gengsi
Dan fanatisme mengimpor barang luar negeri
Gaya hidup imitasi, hedonistis dan materialistis
Kalian cetak kami jadi Bangsa Pengemis
Ketika menadahkan tangan serasa menjual jiwa
Tertancap dalam berbekas, selepas tiga dasawarsa
Jadilah kami generasi sangat kurang rasa percaya
Pada kekuatan diri sendiri dan kayanya sumber alami
Kalian lah yang membuat kami jadi begini
Sepatutnya kalian kami giring ke lapangan sepi
Lalu tiga puluh ribu kali, kami cambuk dengan puisi ini
1998
(10) KEMBALIKAN INDONESIA PADAKU
kepada Kang Ilen
Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga,
Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 wat,
sebagian berwarna putih dan sebagian hitam,
yang menyala bergantian,
Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang malam
dengan bola yang bentuknya seperti telur angsa,
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam
karena seratus juta penduduknya,
Kembalikan
Indonesia
padaku
Hari depan Indonesia adalah satu juta orang main pingpong siang malam
dengan bola telur angsa di bawah sinar lampu 15 wat,
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang pelan-pelan tenggelam
lantaran berat bebannya kemudian angsa-angsa berenang-renang di atasnya,
Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga,
dan di dalam mulut itu ada bola-bola lampu 15 wat,
sebagian putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian,
Hari depan Indonesia adalah angsa-angsa putih yang berenang-renang
sambil main pingpong di atas pulau Jawa yang tenggelam
dan membawa seratus juta bola lampu 15 wat ke dasar lautan,
Kembalikan
Indonesia
padaku
Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang malam
dengan bola yang bentuknya seperti telur angsa,
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam
karena seratus juta penduduknya,
Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 wat,
sebagian berwarna putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian,
Kembalikan
Indonesia
padaku
Paris, 1971
Kamis, 05 April 2012
Kembali pada Pemilik Cinta
Langit murung dalam pelukan mendung
Menuntun relung pada nyata membusung
Menjumpai ombak tempat pedih dilarung
Menjauh tanpa bayang hingga penghujung
Sekalipun airmata menjelmakan samudera
Tak terbias dasar dalamnya perih mendera
Lalu dimanakah mestinya tangis tertera
Jika kepingan hati telah penuh oleh lara
Namun, bila kamboja memang harus ditabur
Terbaik pula kuasa-Nya tak kan terukur
Meski panjang kalbu terdiam hening terpekur
Tak sempat mengantar langkah sudahi jalur
Saat melepas cinta dari dekapan dunia
Letih raganya dan memilih tutup usia
Tanpa kata kepergiannya menebar disforia
Yang sungguh tak lebih dari sebentuk rahasia
Kembali pada-Nya setelah usai rangkai cerita
Menuju damai sembari mengakhiri jerat derita
Maka tersenyumlah disamping "Pemilik Cinta"
Sebab tak akan lama aku berkubang duka cita
Menuntun relung pada nyata membusung
Menjumpai ombak tempat pedih dilarung
Menjauh tanpa bayang hingga penghujung
Sekalipun airmata menjelmakan samudera
Tak terbias dasar dalamnya perih mendera
Lalu dimanakah mestinya tangis tertera
Jika kepingan hati telah penuh oleh lara
Namun, bila kamboja memang harus ditabur
Terbaik pula kuasa-Nya tak kan terukur
Meski panjang kalbu terdiam hening terpekur
Tak sempat mengantar langkah sudahi jalur
Saat melepas cinta dari dekapan dunia
Letih raganya dan memilih tutup usia
Tanpa kata kepergiannya menebar disforia
Yang sungguh tak lebih dari sebentuk rahasia
Kembali pada-Nya setelah usai rangkai cerita
Menuju damai sembari mengakhiri jerat derita
Maka tersenyumlah disamping "Pemilik Cinta"
Sebab tak akan lama aku berkubang duka cita
Senin, 02 April 2012
Hadirmu Untukku
Semburat senja lama telah berlalu
berganti malam yang bisu
meski menyisakan gemulai angin di pucuk daun yang menggigil dingin
dalam hening, kurengkuh nyala
gemintang yang bersinar dalam
singgasana langit
seolah memberi jalan
bagi jiwa jiwa perindu
untuk pulang dan lelap di indahnya mimpi..
Sementara simponi malam kian temaram
kusandarkan jua segala bimbang dalam cahaya do'a
yang tak putus temaniku
sejauh hatiku membayang semua pilu..
Berakhirlah sendu..di balutan merah hitamnya kelam..
Usangkan kemarau dalam jiwa kehausan dan hujan bersinggah
di awan biru..memanggil pagi segera tiba..hangati muka bumi dengan luapan cinta.
*Suara perjalanan*
220312
berganti malam yang bisu
meski menyisakan gemulai angin di pucuk daun yang menggigil dingin
dalam hening, kurengkuh nyala
gemintang yang bersinar dalam
singgasana langit
seolah memberi jalan
bagi jiwa jiwa perindu
untuk pulang dan lelap di indahnya mimpi..
Sementara simponi malam kian temaram
kusandarkan jua segala bimbang dalam cahaya do'a
yang tak putus temaniku
sejauh hatiku membayang semua pilu..
Berakhirlah sendu..di balutan merah hitamnya kelam..
Usangkan kemarau dalam jiwa kehausan dan hujan bersinggah
di awan biru..memanggil pagi segera tiba..hangati muka bumi dengan luapan cinta.
*Suara perjalanan*
220312
Selayaknya Utuh
dunia seperti gempa
ia akan mengganyang kita
atas bawah depan belakang
dunia terus berjalan
ia memberi terang, ia memberi gelap
ia memberi duka, ia memberi suka
setalah kerja keras, sukses mungkin
ketika ditimpa cobaan, berat mungkin
segalanya, akan terasa pada waktunya, mungkin
namun ada yang selayaknya utuh
bagaimanapun hitam atau putihnya hidup
tetap utuh, tidak berubah
untuk tetap jadi baik
tetap ceria, tetap maju melangkah berani
tetap peduli, tetap berbagi
tetap memperjuangkan apa yang kita percaya
tak peduli bagaimanapun dunia
kepada kita
ia akan mengganyang kita
atas bawah depan belakang
dunia terus berjalan
ia memberi terang, ia memberi gelap
ia memberi duka, ia memberi suka
setalah kerja keras, sukses mungkin
ketika ditimpa cobaan, berat mungkin
segalanya, akan terasa pada waktunya, mungkin
namun ada yang selayaknya utuh
bagaimanapun hitam atau putihnya hidup
tetap utuh, tidak berubah
untuk tetap jadi baik
tetap ceria, tetap maju melangkah berani
tetap peduli, tetap berbagi
tetap memperjuangkan apa yang kita percaya
tak peduli bagaimanapun dunia
kepada kita
Minggu, 01 April 2012
Hati yang Mati
Biar kelopak merah disapa bayu
Seperti getar dawai mendayu
Satu romansa semakin sayu
Hampir jatuh jua karena layu
Maka kuijinkan akhir nada mengalun
Dari suara alam cinta yang terlantun
Dikeheningan hanya tangkai berayun
Menyambut sapa badai penuh santun
Bukan bising kini sedang didengar
Namun runut kenanganlah diputar
Meski sumbang nadanya kudengar
Sebab rasa dikalbu t'lah kian hambar
Degup di dada ini lama terhenti
Namun kuntum milikmu belum mati
Masih hendak bersuara hingga nanti
Mencoba membangunkan lagi hati
Terus bernyanyi bersama semesta
Melagukan segala asa akan cinta
Tak lebih dari sederhananya pinta
Agar yang sunyi kembali jadi genta
Seperti getar dawai mendayu
Satu romansa semakin sayu
Hampir jatuh jua karena layu
Maka kuijinkan akhir nada mengalun
Dari suara alam cinta yang terlantun
Dikeheningan hanya tangkai berayun
Menyambut sapa badai penuh santun
Bukan bising kini sedang didengar
Namun runut kenanganlah diputar
Meski sumbang nadanya kudengar
Sebab rasa dikalbu t'lah kian hambar
Degup di dada ini lama terhenti
Namun kuntum milikmu belum mati
Masih hendak bersuara hingga nanti
Mencoba membangunkan lagi hati
Terus bernyanyi bersama semesta
Melagukan segala asa akan cinta
Tak lebih dari sederhananya pinta
Agar yang sunyi kembali jadi genta
Meski Kertas Tak Lagi Putih
Selembar kertas tak lagi putih
Begitu penuh kuasan tentang pedih
Berapa warnanya tak bisa dipilih
Dan tiap larik menyempurnakan rintih
Dengan tinta pena itu hidup ditulis
Bagai penggubah melodi pengiris
Menengadah dibawah tetes gerimis
Berharap pudarkan duka selapis
Namun bukan guratnya terhapus
Kertas pun basah perlahan pupus
Memberat diatas gumpal tanah halus
Sebelum sirna ketika surya menembus
Inilah sebenar-benar garis nyata
Pilu tak pernah layak diselimut dusta
Sia-sia sembunyi dibalik muram derita
Sebab kelam bukan untuk jadi cerita
Tak kan hilang apa yang telah ada
Biarlah, mengukir jejak berbeda
Jadikan utuh harap yang tertunda
Meski sejenak kelabu jadi penanda
Begitu penuh kuasan tentang pedih
Berapa warnanya tak bisa dipilih
Dan tiap larik menyempurnakan rintih
Dengan tinta pena itu hidup ditulis
Bagai penggubah melodi pengiris
Menengadah dibawah tetes gerimis
Berharap pudarkan duka selapis
Namun bukan guratnya terhapus
Kertas pun basah perlahan pupus
Memberat diatas gumpal tanah halus
Sebelum sirna ketika surya menembus
Inilah sebenar-benar garis nyata
Pilu tak pernah layak diselimut dusta
Sia-sia sembunyi dibalik muram derita
Sebab kelam bukan untuk jadi cerita
Tak kan hilang apa yang telah ada
Biarlah, mengukir jejak berbeda
Jadikan utuh harap yang tertunda
Meski sejenak kelabu jadi penanda
Tunduk Dalam Zuhud
Tak pernah alam mengharap wujud
Ketika seisi tunduk dalam zuhud
Tiada mentari meminta beda
Sekedar bersinar tanpa berjeda
Maka adakah penukar angkuh
Agar lepas pula sepenuh luruh
Nyatanya tak sempurna menghamba
Hanya terus merintih mengiba
Malu pada malam pun tidak
Sebab relung ini terlanjur retak
Mesti sujud saja yang obati
Membelai segenap luka hati
Ketika seisi tunduk dalam zuhud
Tiada mentari meminta beda
Sekedar bersinar tanpa berjeda
Maka adakah penukar angkuh
Agar lepas pula sepenuh luruh
Nyatanya tak sempurna menghamba
Hanya terus merintih mengiba
Malu pada malam pun tidak
Sebab relung ini terlanjur retak
Mesti sujud saja yang obati
Membelai segenap luka hati
LICENTIA POETICA & KREDO PUISI
Oleh: Pakde Azir
LICENTIA POETICA : KEBEBASAN BEREKSPRESI
Licentia poetica, suatu istilah yang kerap terdengar dari dunia sastra. Namun apakah licentia poetica itu? Licentia poetica adalah suatu lisensi atau izin tak tertulis yang diberikan kepada penulis karya sastra untuk menerjang kaidah tata bahasa Indonesia yang baik dan benar demi menimbulkan efek-efek tertentu sesuai keinginannya. Singkatnya dengan licentia poetica, seorang penulis ‘dihalalkan’ mempergunakan kaidah bahasa sendiri meski menyimpang.
Tampaknya era penggunaan licentia poetica dimulai sejak diperkenalkannya puisi kontemporer kepada masyarakat umum. Puisi kontemporer adalah puisi yang sudah tak terikat lagi dengan aturan-aturan penulisan puisi pada puisi baru atau puisi sebelumnya. Puisi kontemporer adalah puisi paling bebas yang pernah ada. Penyair dapat menggunakan kata-kata sesuka hatinya bahkan menggunakan kata-kata asing yang tidak tertulis di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) atau bahkan menggunakan gambar. Contoh penyair puisi kontemporer adalah Sutardji Calzoum Bachri dengan banyak sajak yang ia buat seperti :
SEPISAUPI
Oleh : Sutardji Calzoum Bachri
sepisau luka sepisau duri
sepikul dosa sepukau sepi
sepisau duka serisau diri
sepisau sepi sepisau nyanyi
sepisaupa sepisaupi
sepisapanya sepikau sepi
sepisaupa sepisaupoi
sepikul diri keranjang duri
sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sampai pisauNya ke dalam nyanyi
Pada awalnya penggunaan licentia poetica dimaksudkan sebagai pembentuk efek-efek tertentu dalam karya sastra. Misalnya kemerduan bunyi, keselarasan sajak dan keseimbangan irama yang terbentuk dari susunan kata-kata dalam suatu kalimat. Efek-efek seperti ini akan menimbulkan kesan tertentu yang dapat mempengaruhi emosi pembaca sehingga pembaca akan terbawa cerita dan benar-benar meresapi cerita tersebut. Selain itu efek lain yang ditimbulkan oleh licentia poetica adalah menggugah rasa ingin tahu pembaca akan suatu karya akibat sang pembaca merasa karya tersebut unik dan berbeda dari karya lain.
Saat ini licentia poetica masih dipergunakan dalam dunia sastra. Namun sayang banyak penulis yang sering menjadikan licentia poetica sebagai alasan bagi mereka untuk menerjang kaidah bahasa yang telah baku. Hal ini dianggap lumrah karena kebebasan berkarya tak boleh dibatasi. Namun apakah penulis tersebut memahami kaidah tata bahasa yang baik dan benar? Belum tentu. Padahal sebagai warga negara Indonesia yang baik hendaklah menjaga dan melestarikan kebudayaannya apalagi bahasa nasional.
Ya, inilah licentia poetica yang hingga kini masih menuai perdebatan di dunia sastra Indonesia. Di suatu sisi penggunaan licentia poetica dimaksudkan sebagai pemanis karya sastra namun di sisi lain menjaga kelestarian bahasa nasional adalah kewajiban setiap warga negara termasuk para penyair. Kalau sudah begini apa yang harus diperbuat?
Hendaknya yang harus kita garis bawahi adalah pelanggaran aturan bahasa atas nama licentia poetica adalah suatu hal namun buta akan aturan penggunaan bahasa yang baik dan benar adalah hal lain. Kedua hal tersebut tak dapat dipadukan karena latar belakang permasalahan yang berbeda. Sebagai bangsa Indonesia yang baik kita tidak dilarang menciptakan karya sastra karena itu adalah salah satu wujud pelestarian seni berbahasa namun juga hendaknya pemahaman akan kaidah penggunaan bahasa yang baik dan benar tidak kita abaikan.
KREDO PUISI : KEBEBASAN TANPA RAMBU
APAKAH MASIH BERADA DALAM KORIDOR LICENTIA POETICA?
Setiap penyair memiliki licentia poetica dalam penulisan puisi (kebebasan penyair dalam memilah dan memilih cara dan gaya ungkap puisinya). Untuk totalitas ekspresi terkadang penyair melakukan pelanggaran kaidah bahasa dengan tujuan mengungkapkan secara memikat dapat dihasilkan totalitas pengungkapan. Lantaran bahasa dan komunikasi senantiasa harus diutamakan, maka pelanggaran dimungkinkan sejauh untuk kebutuhan ekspresi puitik.
Menurut Shaw (1972: 291); Licentia Poetica adalah kebebasan seorang sastrawan untuk menyimpang dari kenyataan, dari bentuk atau aturan konvensional, untuk menghasilkan efek yang dikehendaki.
Bahwasanya kata “licentia poetica” yang mungkin di mata sebagian penyair masih sangat asing, namun oleh kalangan penyair lainnya bisa jadi telah menjadi santapan sehari-hari, dalam kenyataannya lebih menyerupai “tameng” bagi penyair untuk memerdekakan diri demi menulis (berkarya) sebebas mungkin. Termasuk di antaranya kemungkinan melanggar kaidah-kaidah bahasa yang ada. Kata “licentia poetica” ini seakan menyerupai nomina abstrak alias kata benda yang tidak terlihat secara kasat mata. Mengapa? Karena kita hanya sering mendengar tentangnya, bahkan selalu menggunakannya, tetapi tidak tahu dengan pasti bagaimana bentuk dan wujud aslinya. Dengan kata lain : masalah sistem, batasan, cakupan, dan lain sebagainya terkait penerapannya dalam karya sastra (puisi), hingga saat ini masih menjadi “tanda tanya” besar.
Paradigma yang berkembang selama ini tentang licentia poetica tak lebih dari kata “bebas” atau “merdeka” dalam menulis. Dengan licentia poetica seorang penyair dapat dengan leluasa menumpahkan kreatifitas ke dalam sebuah karya tanpa batasan apa pun. Dengan licentia poetica perjalanan seorang penyair akan sangat aman dan nyaman, bebas hambatan, tak ada gangguan dari siapa pun. Sehingga kesan yang timbul mengisyaratkan bahwa kaidah bahasa yang kita kenal dengan nama resmi “Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan” atau lebih sering disebut EYD, yang mulai resmi berlaku sejak tahun 1972 setelah menggantikan Ejaan Republik (Ejaan Suwandi), seolah-olah serupa hujan deras yang senantiasa menyertai, mengiringi, bahkan menjadi aral melintang dalam perjalanan seorang penyair. Dari derasnya hujan ini, muncullah licentia poetica sebagai “payung” yang luas-lebar sebagai pelindung.
Lantaran demikian abstraknya, licentia poetica pun tumbuh dan berkembang sebagai sesuatu yang sifatnya individu dalam lingkup masyarakat bahasa dan sastra, tak terkecuali kalangan penyair. Di mana “kebebasan” dimaksud lantas diinterpretasikan, dimaknai, serta dieksplorasi sedemikian rupa oleh masing-masing penggunanya. Tentu saja dengan cara, metode, maupun tingkat kemampuan yang berbeda dan nafsi-nafsi pula.
Contoh paling dekat adalah seorang Sutardji Calzoum Bachri (SCB) — yang sering dijuluki Presiden Licentia Poetica — yang dengan mantapnya memproklamirkan sebuah temuan fenomenal bertajuk “Kredo Puisi” pada tanggal 30 Maret 1973, sebagai berikut (kopas lengkap) :
KREDO PUISI
>> Kata-kata bukanlah alat mengantarkan pengertian, Dia bukan seperti pipa yang menyalurkan air. Kata adalah pengertian itu sendiri. Dia bebas.
>> Kata diumpamakan dengan kursi, kata adalah kursi itu sendiri dan bukan alat untuk duduk. Kalau diumpamakan dengan pisau, dia adalah pisau itu sendiri dan bukan alat untuk memotong atau menikam.
>> Dalam kesehari-harian kata cenderung dipergunakan sebagai alat untuk mengantarkan pengertian. Dianggap sebagai pesuruh untuk menyampaikan pengertian. Dan dilupakan kedudukan yang merdeka sebagai pengertian.
>> Kata-kata harus bebas dari penjajahan pengertian, dari beban idea. Kata-kata harus bebas menentukan dirinya sendiri.
>> Dalam puisi saya, saya bebaskan kata-kata dari tradisi lapuk yang membelenggu seperti kamus dan penjajahan-penjajahan lain seperti moral kata yang dibebankan masyarakat pada kata tertentu dengan dianggap kotor (obscene) serta penjajahan gramatika.
>> Bila kata telah dibebaskan, kreativitas pun dimungkinkan. Karena kata-kata bisa menciptakan dirinya, bermain dengan dirinya sendiri, dan menentukan kemauannya sendiri. Pendadakan yang kreatif bisa timbul karena kata yang biasanya dianggap berfungsi sebagai penyalur pengertian bisa menyungsang terhadap fungsinya. Maka timbullah hal-hal yang tak terduga sebelumnya yang kreatif.
>> Dalam penciptaan puisi saya, kata-kata saya biarkan bebas. Dalam gairahnya karena telah menemukan kebebasan, kata-kata meloncat-loncat dan menari di atas kertas, mabuk dan menelanjangi dirinya sendiri, mondar-mandir dan berkali-kali menunjukkan muka dan belakangnya yang mungkin sama atau tak sama, membelah dirinya dengan bebas, menyatukan dirinya dengan yang lainnya untuk memperkuat dirinya, membalik dan menyungsangkan sendiri dirinya dengan bebas, saling bertentangan sendiri satu sama lainnya karena mereka bebas berbuat semaunya atau bila perlu membunuh dirinya sendiri untuk menunjukkan dirinya bisa menolak dan berontak terhadap pengertian yang ingin dibebankan kepadanya.
>> Sebagai penyair saya hanya menjaga sepanjang tidak mengganggu kebebasannya agar kehadirannya yang bebas sebagai pembentuk pengertian sendiri, bisa mendapat aksentuasi yang maksimal.
>> Menulis puisi bagi saya adalah membebaskan kata-kata, yang berarti mengembalikan kata pada awal mulanya. Pada mulanya adalah kata.
>> Dan kata pertama adalah mantera. Maka menulis puisi bagi saya adalah mengembalikan kata kepada mantera.
Sutardji Calzoum Bachri (SCB) — Bandung, 30 Maret 1973 — (O, Amuk, Kapak, 1981:13-14).
KATA = MANTRA (?)
Seyogyanya, membicarakan “Kredo Puisi” SCB yang membingungkan di atas tentulah sesuatu yang butuh penalaran ekstra dan hendaknya merupakan kajian representatif. Terlebih jika harus menelusuri asal-muasal berikut segudang tendesinya. Namun dalam tulisan ini kemungkinan hanya akan memandang sisi luarnya saja yang berkaitan dengan licentia poetica, berikut potensi dampaknya terhadap eksistensi bahasa. Karena disamping keterbatasan waktu serta bahan acuan, ihwal Kredo Puisi ini juga telah sering dibahas dengan terang-jelas oleh banyak kalangan yang lebih kompeten. Mulai dari penyair, pemerhati sastra-budaya, hingga para kritikus sastra.
Kredo Puisi — dalam kurun waktu tertentu — memang bukanlah isapan jempol belaka, karena serta-merta diikuti dan ditegaskan dengan karya-karya yang sungguh berbeda dari karya penyair lainnya. Dalam karya-karya SCB yang berkiblat pada Kredo Puisi, kita tidak akan menemukan pertalian kata dan makna. Apalagi jika harus mencari sangkut-pautnya secara leksikal ke dalam kamus, tidak ada jalan sama sekali. Karena seluruh kemungkinan itu memang telah dimatikan oleh SCB melalui “kredo” yang dengan sangat tegas menulis bahwa kata-kata dalam puisinya adalah mantra. Tak pelak, dengan licentia poetica berlabel Kredo Puisi, sepak terjang SCB dalam meramu, menjungkir-balikkan, mempreteli, menguliti, hingga mencincang kata demi kata lewat karyanya, seakan tak terbendung. Namun fenomena ini justru mendapat resepsi dan tempat tersendiri dalam lingkup masyarakat bahasa-sastra. Entah karena unik dan menarik, karena tidak tahu dan kurang mengerti, atau mungkin karena benar-benar telah terkena mantra yang disebut dalam Kredo Puisi.
Kemudian timbul pertanyaan: apakah licentia poetica sejenis ini bukannya malah berpotensi membunuh bahasa? Sebab logisnya; ketika kata sudah dilepas-bebaskan dari makna, ketika kamus tak lagi diperlukan dan justru dianggap belenggu, lalu untuk apa lagi ada pelajaran Bahasa Indonesia dalam kurikulum pendidikan? Jika memang kata benar-benar akan dikembalikan menjadi mantra — menurut “Kredo Puisi” kata pertama adalah mantra — apa tidak sebaiknya Fakultas Bahasa dan Sastra di unversitas-universitas seantero negeri diganti saja namanya menjadi Fakultas Dukun dan Mantra? Kalau demikian, apakah tidak sebaiknya lafal butir ketiga dalam Sumpah Pemuda yang berbunyi: “…menjunjung bahasa persatuan…” direvisi saja menjadi “…menjunjung mantra persatuan…”?
Karena menurut artinya sendiri dalam KBBI, “mantra” adalah: (1) perkataan atau ucapan yang memiliki kekuatan gaib (misalnya dapat menyembuhkan, mendatangkan celaka, dan sebagainya); (2) susunan kata berunsur puisi (seperti rima, irama) yang dianggap mengandung kekuatan gaib, biasanya diucapkan oleh dukun atau pawang untuk menandingi kekuatan gaib yang lain. Dalam pembagiannya lagi mantra dikelompokkan atas: (a) mantra kejahatan, yaitu mantra untuk perbuatan-perbuatan jahat dan mencelakai orang lain; (b) mantra keselamatan, yakni mantra untuk menjaga diri dari bahaya; (c) mantra penawar, atau dikenal sebagai mantra pengobatan terhadap orang sakit; (d) mantra pitanggang, kerap dijadikan mantra yang menyebabkan perempuan tidak suka kepada pria atau tidak menikah seumur hidup karena tidak ada laki-laki yang mencintainya.
Lalu, mantra mana yang dimaksud oleh Kredo Puisi? Setelah membaca mantra-mantra temuan Kredo Puisi, pertanyaannya; sudah berapa banyak orang sakit yang berhasil disembuhkan? Sudah berapa kali mencelakai orang akibat sihir-menyihir, teluh-meneluh, santet-menyantet, dan semacamnya? Sudah berapa banyak orang yang terselamatkan dari bahaya? Atau, perempuan mana yang kira-kira “mau” tidak bersuami seumur hidupnya karena terkena mantra Kredo Puisi? Mohon maaf, bukan lantaran tidak mempercayai mitologi dan semacamnya, tetapi jika “mantra” harus dijadikan acuan sejenis licentia poetica dalam karya sastra, barangkali perlu dipertimbangkan untuk menggolongkan paranormal kondang — yang tentu identik dengan mantra — Ki Joko Bodo sebagai “penyair” juga.
Tanpa bermaksud “apa pun” terhadap “siapa pun”, namun licentia poetica bernama Kredo Puisi sungguh telah menanamkan idealisme segar-nanar-bingar-sangar dalam paham pelaku sastra yang lain, terutama generasi selanjutnya. Betapa tidak, bahkan bocah-bocah tingkat sekolah dasar yang baru belajar mengenal huruf pun sudah diharuskan melahap kreasi individu hasil temuan Kredo Puisi melalui buku yang masuk ke sekolah-sekolah atas petuah pemerintah yang mengurusi bidang pendidikan (Depdiknas) — pada masanya.
Lalu bagaimana dampaknya terhadap perkembangan bahasa sendiri? Sungguh miris mengatakannya, karena idealnya pada tingkatan bangku sekolah seperti demikian, semestinya bahasa Indonesia-lah (termasuk di dalamnya EYD) yang harus dijadikan asupan utama. Bukan justru menjejali sekolahan dengan karya-karya sastra yang penuh dengan penyimpangan “orang-orang tertentu” saja. Tengoklah sekarang ke sekeliling kita, betapa kebebasan seorang penemu Kredo Puisi jauh lebih dikenal luas, dipuja-puja, bahkan melegenda di seantero negeri. Bandingkan dengan tokoh-tokoh pelopor bahasa semisal Sutan Takdir Alisjahbana yang dikenal juga sebagai “insinyur bahasa” lantaran kegigihannya memperjuangkan bahasa Indonesia semenjak masih bernama bahasa Melayu. Atau deretan nama pemakalah dalam Kongres Bahasa pertama kali di Solo pada tanggal 25-29 Juni 1938 seperti Ki Hadjar Dewantara, Djamaluddin Adi Negoro, Amir Syarifuddin, Muhammad Yamin, Soekardjo Soerjopranoto, Kusuma St. Pamuntjak, Sanusi Pane, hingga Muhammad Tabrani, yang merupakan salah satu titik tolak lahirnya kaidah-kaidah bahasa Indonesia. Atau Amin Singgih yang berhasil menarik minat para guru, mahasiswa, sastrawan, wartawan, hingga para pengusaha dan birokrat melalui siaran khusus bahasa Indonesia di stasiun TVRI pada tahun 1970-an. Atau “panglima pembakuan bahasa” Anton Moeliono yang juga begitu banyak memberi andil dalam proses pembakuan bahasa Indonesia. Ke mana pula tenggelamnya nama para ahli bahasa semisal J.S. Badudu hingga Ajip Rosidi yang begitu setianya mengkaji, membenahi, lalu memperkenalkan serta mengajak seluruh bangsa untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar? Adakah yang masih sudi untuk sekedar mengingat nama mereka?
Nurel Javissyarqi dalam bukunya “Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri” (2011), berbicara selantang-lantangnya, segamblang-gamblangnya, seterang-terangnya, demi membuka mata dunia terkait Kredo Puisi berikut sekelumit dinamikanya. Upaya membuat melek mata dunia ini disusun dengan sangat runut, aktual dan tajam yang lalu diapresiasi dengan riang-girang-senang oleh banyak kalangan.
Usai menyinggung sedikit tentang Kredo Puisi, pada gilirannya kita kembali bertanya; seperti apakah gerangan resepsi masyarakat bahasa dan sastra sendiri terhadap teka-teki licentia poetica? Tugas inilah yang layak menjadi “PR” utama bagi kita semua. Karena harus diakui bahwa licentia poetica hanya bebas bermain dalam lingkup masyarakat sastra, tidak membaur-lebur dalam ranah masyarakat bahasa. Apa pasal? Tentu saja karena dari sekian banyak definisi dan pengertian, tetap saja tidak ada kejelasan tentang batasan, ketentuan, maupun cakupan dari licentia poetica itu sendiri. Sedangkan para pelaku sastra — khususnya penyair — mau tidak mau, suka tidak suka, harus menerima kenyataan bahwa mereka adalah salah satu ujung tombak sekaligus “penunjuk jalan” dalam hal penggunaan bahasa. Bayangkanlah bagaimana jadinya jika penunjuk jalan yang justru nyasar duluan lalu kencing berdiri di sembarang tempat? Ibarat pepatah, jika pemegang tampuk “ing ngarso sung tulodo” sudah doyan kencing berdiri, kemungkinan konvoi barisan “ing madya mangun karso” hingga “tut wuri handayani” yang membututi di belakang nantinya bukan lagi kencing berlari, tetapi kencing nungging dan jungkir balik.
Jadi, seperti apa dan bagaimana licentia poetica sebenarnya? Untuk pertanyaan ini kemungkinan memang sulit untuk dijawab dengan pasti. Tetapi dalam rangka pencarian, tidak ada salahnya jika kita sama-sama bergelut dan bergumul dengan peluh-keluh demi menilik benar-benar tingkat “kebebasan” kita dalam mencipta karya sastra — yang di dalamnya menggunakan jasa gratis “bahasa” itu. Adapun ilustrasi langsung secara sederhana perihal keterkaitan “licentia poetica” dengan “kaidah EYD” dari sisi struktur atau gaya penulisan, akan coba kita jajal bersama dalam catatan selanjutnya
Demikian catatan selayang pandang terhadap licentia poetica bernama “Kredo Puisi” dari balik kaca mata pengguna bahasa. Jika ternyata dalam catatan ini banyak cara bertutur yang kurang berkenan di hati pihak-pihak tertentu, harap dimaklumi. Sebab sejatinya sama sekali tidak terbersit niat untuk meminus-negatifkan apa pun dan siapa pun. Tulisan ini dibuat semata-mata dengan tujuan membuka ruang diskusi selebar-lebarnya, kepada seluruh masyarakat pengguna bahasa dan penggiat sastra.
Sedikit harapan; semoga putra-putri negeri belum lupa, bahwa dalam kalender setiap tahun, tanggal 28 Oktober masih tetap berwarna merah. Seperti halnya segala anggapan, tanggapan, atau apa pun rupanya terhadap tulisan ini, akan selalu setia dinanti, dengan hati yang juga merah.
Salam Bahasa, Sastra dan Budaya!
LICENTIA POETICA : KEBEBASAN BEREKSPRESI
Licentia poetica, suatu istilah yang kerap terdengar dari dunia sastra. Namun apakah licentia poetica itu? Licentia poetica adalah suatu lisensi atau izin tak tertulis yang diberikan kepada penulis karya sastra untuk menerjang kaidah tata bahasa Indonesia yang baik dan benar demi menimbulkan efek-efek tertentu sesuai keinginannya. Singkatnya dengan licentia poetica, seorang penulis ‘dihalalkan’ mempergunakan kaidah bahasa sendiri meski menyimpang.
Tampaknya era penggunaan licentia poetica dimulai sejak diperkenalkannya puisi kontemporer kepada masyarakat umum. Puisi kontemporer adalah puisi yang sudah tak terikat lagi dengan aturan-aturan penulisan puisi pada puisi baru atau puisi sebelumnya. Puisi kontemporer adalah puisi paling bebas yang pernah ada. Penyair dapat menggunakan kata-kata sesuka hatinya bahkan menggunakan kata-kata asing yang tidak tertulis di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) atau bahkan menggunakan gambar. Contoh penyair puisi kontemporer adalah Sutardji Calzoum Bachri dengan banyak sajak yang ia buat seperti :
SEPISAUPI
Oleh : Sutardji Calzoum Bachri
sepisau luka sepisau duri
sepikul dosa sepukau sepi
sepisau duka serisau diri
sepisau sepi sepisau nyanyi
sepisaupa sepisaupi
sepisapanya sepikau sepi
sepisaupa sepisaupoi
sepikul diri keranjang duri
sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sampai pisauNya ke dalam nyanyi
Pada awalnya penggunaan licentia poetica dimaksudkan sebagai pembentuk efek-efek tertentu dalam karya sastra. Misalnya kemerduan bunyi, keselarasan sajak dan keseimbangan irama yang terbentuk dari susunan kata-kata dalam suatu kalimat. Efek-efek seperti ini akan menimbulkan kesan tertentu yang dapat mempengaruhi emosi pembaca sehingga pembaca akan terbawa cerita dan benar-benar meresapi cerita tersebut. Selain itu efek lain yang ditimbulkan oleh licentia poetica adalah menggugah rasa ingin tahu pembaca akan suatu karya akibat sang pembaca merasa karya tersebut unik dan berbeda dari karya lain.
Saat ini licentia poetica masih dipergunakan dalam dunia sastra. Namun sayang banyak penulis yang sering menjadikan licentia poetica sebagai alasan bagi mereka untuk menerjang kaidah bahasa yang telah baku. Hal ini dianggap lumrah karena kebebasan berkarya tak boleh dibatasi. Namun apakah penulis tersebut memahami kaidah tata bahasa yang baik dan benar? Belum tentu. Padahal sebagai warga negara Indonesia yang baik hendaklah menjaga dan melestarikan kebudayaannya apalagi bahasa nasional.
Ya, inilah licentia poetica yang hingga kini masih menuai perdebatan di dunia sastra Indonesia. Di suatu sisi penggunaan licentia poetica dimaksudkan sebagai pemanis karya sastra namun di sisi lain menjaga kelestarian bahasa nasional adalah kewajiban setiap warga negara termasuk para penyair. Kalau sudah begini apa yang harus diperbuat?
Hendaknya yang harus kita garis bawahi adalah pelanggaran aturan bahasa atas nama licentia poetica adalah suatu hal namun buta akan aturan penggunaan bahasa yang baik dan benar adalah hal lain. Kedua hal tersebut tak dapat dipadukan karena latar belakang permasalahan yang berbeda. Sebagai bangsa Indonesia yang baik kita tidak dilarang menciptakan karya sastra karena itu adalah salah satu wujud pelestarian seni berbahasa namun juga hendaknya pemahaman akan kaidah penggunaan bahasa yang baik dan benar tidak kita abaikan.
KREDO PUISI : KEBEBASAN TANPA RAMBU
APAKAH MASIH BERADA DALAM KORIDOR LICENTIA POETICA?
Setiap penyair memiliki licentia poetica dalam penulisan puisi (kebebasan penyair dalam memilah dan memilih cara dan gaya ungkap puisinya). Untuk totalitas ekspresi terkadang penyair melakukan pelanggaran kaidah bahasa dengan tujuan mengungkapkan secara memikat dapat dihasilkan totalitas pengungkapan. Lantaran bahasa dan komunikasi senantiasa harus diutamakan, maka pelanggaran dimungkinkan sejauh untuk kebutuhan ekspresi puitik.
Menurut Shaw (1972: 291); Licentia Poetica adalah kebebasan seorang sastrawan untuk menyimpang dari kenyataan, dari bentuk atau aturan konvensional, untuk menghasilkan efek yang dikehendaki.
Bahwasanya kata “licentia poetica” yang mungkin di mata sebagian penyair masih sangat asing, namun oleh kalangan penyair lainnya bisa jadi telah menjadi santapan sehari-hari, dalam kenyataannya lebih menyerupai “tameng” bagi penyair untuk memerdekakan diri demi menulis (berkarya) sebebas mungkin. Termasuk di antaranya kemungkinan melanggar kaidah-kaidah bahasa yang ada. Kata “licentia poetica” ini seakan menyerupai nomina abstrak alias kata benda yang tidak terlihat secara kasat mata. Mengapa? Karena kita hanya sering mendengar tentangnya, bahkan selalu menggunakannya, tetapi tidak tahu dengan pasti bagaimana bentuk dan wujud aslinya. Dengan kata lain : masalah sistem, batasan, cakupan, dan lain sebagainya terkait penerapannya dalam karya sastra (puisi), hingga saat ini masih menjadi “tanda tanya” besar.
Paradigma yang berkembang selama ini tentang licentia poetica tak lebih dari kata “bebas” atau “merdeka” dalam menulis. Dengan licentia poetica seorang penyair dapat dengan leluasa menumpahkan kreatifitas ke dalam sebuah karya tanpa batasan apa pun. Dengan licentia poetica perjalanan seorang penyair akan sangat aman dan nyaman, bebas hambatan, tak ada gangguan dari siapa pun. Sehingga kesan yang timbul mengisyaratkan bahwa kaidah bahasa yang kita kenal dengan nama resmi “Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan” atau lebih sering disebut EYD, yang mulai resmi berlaku sejak tahun 1972 setelah menggantikan Ejaan Republik (Ejaan Suwandi), seolah-olah serupa hujan deras yang senantiasa menyertai, mengiringi, bahkan menjadi aral melintang dalam perjalanan seorang penyair. Dari derasnya hujan ini, muncullah licentia poetica sebagai “payung” yang luas-lebar sebagai pelindung.
Lantaran demikian abstraknya, licentia poetica pun tumbuh dan berkembang sebagai sesuatu yang sifatnya individu dalam lingkup masyarakat bahasa dan sastra, tak terkecuali kalangan penyair. Di mana “kebebasan” dimaksud lantas diinterpretasikan, dimaknai, serta dieksplorasi sedemikian rupa oleh masing-masing penggunanya. Tentu saja dengan cara, metode, maupun tingkat kemampuan yang berbeda dan nafsi-nafsi pula.
Contoh paling dekat adalah seorang Sutardji Calzoum Bachri (SCB) — yang sering dijuluki Presiden Licentia Poetica — yang dengan mantapnya memproklamirkan sebuah temuan fenomenal bertajuk “Kredo Puisi” pada tanggal 30 Maret 1973, sebagai berikut (kopas lengkap) :
KREDO PUISI
>> Kata-kata bukanlah alat mengantarkan pengertian, Dia bukan seperti pipa yang menyalurkan air. Kata adalah pengertian itu sendiri. Dia bebas.
>> Kata diumpamakan dengan kursi, kata adalah kursi itu sendiri dan bukan alat untuk duduk. Kalau diumpamakan dengan pisau, dia adalah pisau itu sendiri dan bukan alat untuk memotong atau menikam.
>> Dalam kesehari-harian kata cenderung dipergunakan sebagai alat untuk mengantarkan pengertian. Dianggap sebagai pesuruh untuk menyampaikan pengertian. Dan dilupakan kedudukan yang merdeka sebagai pengertian.
>> Kata-kata harus bebas dari penjajahan pengertian, dari beban idea. Kata-kata harus bebas menentukan dirinya sendiri.
>> Dalam puisi saya, saya bebaskan kata-kata dari tradisi lapuk yang membelenggu seperti kamus dan penjajahan-penjajahan lain seperti moral kata yang dibebankan masyarakat pada kata tertentu dengan dianggap kotor (obscene) serta penjajahan gramatika.
>> Bila kata telah dibebaskan, kreativitas pun dimungkinkan. Karena kata-kata bisa menciptakan dirinya, bermain dengan dirinya sendiri, dan menentukan kemauannya sendiri. Pendadakan yang kreatif bisa timbul karena kata yang biasanya dianggap berfungsi sebagai penyalur pengertian bisa menyungsang terhadap fungsinya. Maka timbullah hal-hal yang tak terduga sebelumnya yang kreatif.
>> Dalam penciptaan puisi saya, kata-kata saya biarkan bebas. Dalam gairahnya karena telah menemukan kebebasan, kata-kata meloncat-loncat dan menari di atas kertas, mabuk dan menelanjangi dirinya sendiri, mondar-mandir dan berkali-kali menunjukkan muka dan belakangnya yang mungkin sama atau tak sama, membelah dirinya dengan bebas, menyatukan dirinya dengan yang lainnya untuk memperkuat dirinya, membalik dan menyungsangkan sendiri dirinya dengan bebas, saling bertentangan sendiri satu sama lainnya karena mereka bebas berbuat semaunya atau bila perlu membunuh dirinya sendiri untuk menunjukkan dirinya bisa menolak dan berontak terhadap pengertian yang ingin dibebankan kepadanya.
>> Sebagai penyair saya hanya menjaga sepanjang tidak mengganggu kebebasannya agar kehadirannya yang bebas sebagai pembentuk pengertian sendiri, bisa mendapat aksentuasi yang maksimal.
>> Menulis puisi bagi saya adalah membebaskan kata-kata, yang berarti mengembalikan kata pada awal mulanya. Pada mulanya adalah kata.
>> Dan kata pertama adalah mantera. Maka menulis puisi bagi saya adalah mengembalikan kata kepada mantera.
Sutardji Calzoum Bachri (SCB) — Bandung, 30 Maret 1973 — (O, Amuk, Kapak, 1981:13-14).
KATA = MANTRA (?)
Seyogyanya, membicarakan “Kredo Puisi” SCB yang membingungkan di atas tentulah sesuatu yang butuh penalaran ekstra dan hendaknya merupakan kajian representatif. Terlebih jika harus menelusuri asal-muasal berikut segudang tendesinya. Namun dalam tulisan ini kemungkinan hanya akan memandang sisi luarnya saja yang berkaitan dengan licentia poetica, berikut potensi dampaknya terhadap eksistensi bahasa. Karena disamping keterbatasan waktu serta bahan acuan, ihwal Kredo Puisi ini juga telah sering dibahas dengan terang-jelas oleh banyak kalangan yang lebih kompeten. Mulai dari penyair, pemerhati sastra-budaya, hingga para kritikus sastra.
Kredo Puisi — dalam kurun waktu tertentu — memang bukanlah isapan jempol belaka, karena serta-merta diikuti dan ditegaskan dengan karya-karya yang sungguh berbeda dari karya penyair lainnya. Dalam karya-karya SCB yang berkiblat pada Kredo Puisi, kita tidak akan menemukan pertalian kata dan makna. Apalagi jika harus mencari sangkut-pautnya secara leksikal ke dalam kamus, tidak ada jalan sama sekali. Karena seluruh kemungkinan itu memang telah dimatikan oleh SCB melalui “kredo” yang dengan sangat tegas menulis bahwa kata-kata dalam puisinya adalah mantra. Tak pelak, dengan licentia poetica berlabel Kredo Puisi, sepak terjang SCB dalam meramu, menjungkir-balikkan, mempreteli, menguliti, hingga mencincang kata demi kata lewat karyanya, seakan tak terbendung. Namun fenomena ini justru mendapat resepsi dan tempat tersendiri dalam lingkup masyarakat bahasa-sastra. Entah karena unik dan menarik, karena tidak tahu dan kurang mengerti, atau mungkin karena benar-benar telah terkena mantra yang disebut dalam Kredo Puisi.
Kemudian timbul pertanyaan: apakah licentia poetica sejenis ini bukannya malah berpotensi membunuh bahasa? Sebab logisnya; ketika kata sudah dilepas-bebaskan dari makna, ketika kamus tak lagi diperlukan dan justru dianggap belenggu, lalu untuk apa lagi ada pelajaran Bahasa Indonesia dalam kurikulum pendidikan? Jika memang kata benar-benar akan dikembalikan menjadi mantra — menurut “Kredo Puisi” kata pertama adalah mantra — apa tidak sebaiknya Fakultas Bahasa dan Sastra di unversitas-universitas seantero negeri diganti saja namanya menjadi Fakultas Dukun dan Mantra? Kalau demikian, apakah tidak sebaiknya lafal butir ketiga dalam Sumpah Pemuda yang berbunyi: “…menjunjung bahasa persatuan…” direvisi saja menjadi “…menjunjung mantra persatuan…”?
Karena menurut artinya sendiri dalam KBBI, “mantra” adalah: (1) perkataan atau ucapan yang memiliki kekuatan gaib (misalnya dapat menyembuhkan, mendatangkan celaka, dan sebagainya); (2) susunan kata berunsur puisi (seperti rima, irama) yang dianggap mengandung kekuatan gaib, biasanya diucapkan oleh dukun atau pawang untuk menandingi kekuatan gaib yang lain. Dalam pembagiannya lagi mantra dikelompokkan atas: (a) mantra kejahatan, yaitu mantra untuk perbuatan-perbuatan jahat dan mencelakai orang lain; (b) mantra keselamatan, yakni mantra untuk menjaga diri dari bahaya; (c) mantra penawar, atau dikenal sebagai mantra pengobatan terhadap orang sakit; (d) mantra pitanggang, kerap dijadikan mantra yang menyebabkan perempuan tidak suka kepada pria atau tidak menikah seumur hidup karena tidak ada laki-laki yang mencintainya.
Lalu, mantra mana yang dimaksud oleh Kredo Puisi? Setelah membaca mantra-mantra temuan Kredo Puisi, pertanyaannya; sudah berapa banyak orang sakit yang berhasil disembuhkan? Sudah berapa kali mencelakai orang akibat sihir-menyihir, teluh-meneluh, santet-menyantet, dan semacamnya? Sudah berapa banyak orang yang terselamatkan dari bahaya? Atau, perempuan mana yang kira-kira “mau” tidak bersuami seumur hidupnya karena terkena mantra Kredo Puisi? Mohon maaf, bukan lantaran tidak mempercayai mitologi dan semacamnya, tetapi jika “mantra” harus dijadikan acuan sejenis licentia poetica dalam karya sastra, barangkali perlu dipertimbangkan untuk menggolongkan paranormal kondang — yang tentu identik dengan mantra — Ki Joko Bodo sebagai “penyair” juga.
Tanpa bermaksud “apa pun” terhadap “siapa pun”, namun licentia poetica bernama Kredo Puisi sungguh telah menanamkan idealisme segar-nanar-bingar-sangar dalam paham pelaku sastra yang lain, terutama generasi selanjutnya. Betapa tidak, bahkan bocah-bocah tingkat sekolah dasar yang baru belajar mengenal huruf pun sudah diharuskan melahap kreasi individu hasil temuan Kredo Puisi melalui buku yang masuk ke sekolah-sekolah atas petuah pemerintah yang mengurusi bidang pendidikan (Depdiknas) — pada masanya.
Lalu bagaimana dampaknya terhadap perkembangan bahasa sendiri? Sungguh miris mengatakannya, karena idealnya pada tingkatan bangku sekolah seperti demikian, semestinya bahasa Indonesia-lah (termasuk di dalamnya EYD) yang harus dijadikan asupan utama. Bukan justru menjejali sekolahan dengan karya-karya sastra yang penuh dengan penyimpangan “orang-orang tertentu” saja. Tengoklah sekarang ke sekeliling kita, betapa kebebasan seorang penemu Kredo Puisi jauh lebih dikenal luas, dipuja-puja, bahkan melegenda di seantero negeri. Bandingkan dengan tokoh-tokoh pelopor bahasa semisal Sutan Takdir Alisjahbana yang dikenal juga sebagai “insinyur bahasa” lantaran kegigihannya memperjuangkan bahasa Indonesia semenjak masih bernama bahasa Melayu. Atau deretan nama pemakalah dalam Kongres Bahasa pertama kali di Solo pada tanggal 25-29 Juni 1938 seperti Ki Hadjar Dewantara, Djamaluddin Adi Negoro, Amir Syarifuddin, Muhammad Yamin, Soekardjo Soerjopranoto, Kusuma St. Pamuntjak, Sanusi Pane, hingga Muhammad Tabrani, yang merupakan salah satu titik tolak lahirnya kaidah-kaidah bahasa Indonesia. Atau Amin Singgih yang berhasil menarik minat para guru, mahasiswa, sastrawan, wartawan, hingga para pengusaha dan birokrat melalui siaran khusus bahasa Indonesia di stasiun TVRI pada tahun 1970-an. Atau “panglima pembakuan bahasa” Anton Moeliono yang juga begitu banyak memberi andil dalam proses pembakuan bahasa Indonesia. Ke mana pula tenggelamnya nama para ahli bahasa semisal J.S. Badudu hingga Ajip Rosidi yang begitu setianya mengkaji, membenahi, lalu memperkenalkan serta mengajak seluruh bangsa untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar? Adakah yang masih sudi untuk sekedar mengingat nama mereka?
Nurel Javissyarqi dalam bukunya “Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri” (2011), berbicara selantang-lantangnya, segamblang-gamblangnya, seterang-terangnya, demi membuka mata dunia terkait Kredo Puisi berikut sekelumit dinamikanya. Upaya membuat melek mata dunia ini disusun dengan sangat runut, aktual dan tajam yang lalu diapresiasi dengan riang-girang-senang oleh banyak kalangan.
Usai menyinggung sedikit tentang Kredo Puisi, pada gilirannya kita kembali bertanya; seperti apakah gerangan resepsi masyarakat bahasa dan sastra sendiri terhadap teka-teki licentia poetica? Tugas inilah yang layak menjadi “PR” utama bagi kita semua. Karena harus diakui bahwa licentia poetica hanya bebas bermain dalam lingkup masyarakat sastra, tidak membaur-lebur dalam ranah masyarakat bahasa. Apa pasal? Tentu saja karena dari sekian banyak definisi dan pengertian, tetap saja tidak ada kejelasan tentang batasan, ketentuan, maupun cakupan dari licentia poetica itu sendiri. Sedangkan para pelaku sastra — khususnya penyair — mau tidak mau, suka tidak suka, harus menerima kenyataan bahwa mereka adalah salah satu ujung tombak sekaligus “penunjuk jalan” dalam hal penggunaan bahasa. Bayangkanlah bagaimana jadinya jika penunjuk jalan yang justru nyasar duluan lalu kencing berdiri di sembarang tempat? Ibarat pepatah, jika pemegang tampuk “ing ngarso sung tulodo” sudah doyan kencing berdiri, kemungkinan konvoi barisan “ing madya mangun karso” hingga “tut wuri handayani” yang membututi di belakang nantinya bukan lagi kencing berlari, tetapi kencing nungging dan jungkir balik.
Jadi, seperti apa dan bagaimana licentia poetica sebenarnya? Untuk pertanyaan ini kemungkinan memang sulit untuk dijawab dengan pasti. Tetapi dalam rangka pencarian, tidak ada salahnya jika kita sama-sama bergelut dan bergumul dengan peluh-keluh demi menilik benar-benar tingkat “kebebasan” kita dalam mencipta karya sastra — yang di dalamnya menggunakan jasa gratis “bahasa” itu. Adapun ilustrasi langsung secara sederhana perihal keterkaitan “licentia poetica” dengan “kaidah EYD” dari sisi struktur atau gaya penulisan, akan coba kita jajal bersama dalam catatan selanjutnya
Demikian catatan selayang pandang terhadap licentia poetica bernama “Kredo Puisi” dari balik kaca mata pengguna bahasa. Jika ternyata dalam catatan ini banyak cara bertutur yang kurang berkenan di hati pihak-pihak tertentu, harap dimaklumi. Sebab sejatinya sama sekali tidak terbersit niat untuk meminus-negatifkan apa pun dan siapa pun. Tulisan ini dibuat semata-mata dengan tujuan membuka ruang diskusi selebar-lebarnya, kepada seluruh masyarakat pengguna bahasa dan penggiat sastra.
Sedikit harapan; semoga putra-putri negeri belum lupa, bahwa dalam kalender setiap tahun, tanggal 28 Oktober masih tetap berwarna merah. Seperti halnya segala anggapan, tanggapan, atau apa pun rupanya terhadap tulisan ini, akan selalu setia dinanti, dengan hati yang juga merah.
Salam Bahasa, Sastra dan Budaya!
Langganan:
Postingan (Atom)
Senandung Rindu untuk Ibu
Ibu.. Ribuan hari berlalu Tanpa hadirmu Namun rindu Masih menderu Penuhi ruang kalbu Dan netraku Masih pantulkan kelabu Sekalipun langit itu...
-
Senja yang terbakar oleh uap panas matahari mematikan daun daun mungilku burungpun enggan singgah di dahannya yang batu pucat maya bayan...
-
Oh Cinta... Aku dengar keluh kesahmu dalam wahana yang begitu sempit Duniamu tersangkut pada khayangan dilema Ingin menari, tapi kata hat...
-
Oleh Pakde Azir Raja Ali Haji bin Raja Haji Ahmad atau cukup dengan nama pena-nya Raja Ali Haji (lahir di Selangor, 1808 — meninggal di ...