Minggu, 29 April 2012

Yang Hilang Arti

Entah hitam atau putih yang berbaur
Atau sekedar jejak saat jatuh tersungkur
Semua tak pernah benar-benar terkubur
Sebuah pendewasaan hidup dalam alur

Sekalipun dimulai dari lingkar kelam
Tak selalu akhir terbentuk lukis suram
Meskipun samudera itu sangat dalam
Tak kan jadi tempat bagi mimpi tenggelam


Jika derita adalah bayangan bagi langkah
Maka malam ialah harapan yang rekah
Bila nyatanya terik adalah penetes peluh
Ada pula mendung melingkup peneduh


Seperti anak angin yang terus menari
Tiada menentu arahnya membawa diri
Begitu jua terbang tinggi kesana-kemari
Tak hanya selalu rapi mengikuti mentari


Dan inilah jalan bagi serpih-serpih hati
Yang mugkin pernah pula kehilangan arti
Hancur dalam panjangnya waktu menanti
Tak kunjung menyapa kedamaian sejati


Tiba masa menyatukan tiap kepingan
Bahagia tak muncul dalam kediaman
Sebab gerak mesti mengiring keprasahan
Hingga tertutup sempurna sketsa kegelapan


"Pasrah Tanpa Usaha = Kesia-sian"

Sesalpun Sia-Sia

Meluruh, pinta antara malam
Menyepuh, doa-doa terdalam

Tengadah, tangan begitu rapi
Berpasrah, tapi tak meratapi

Tersingkap, berjuta kekhilafan
Berharap, lebar pintu ampunan

Nafasku, tak merengkuh kuasa
Membeku, ditengah lingkar dosa

Bernyawa, hanyalah sementara
Tertawa, juga ada muara

Diambil, maka matilah raga
Menggigil, takut tidak terhingga

Terlambat, sesalpun sia-sia
Mengingat, telah tutup usia

Sabtu, 28 April 2012

HUJAN

Hujan di bawah langitku
seolah airmata melaju
basahi semesta raya
tangisi kisah kisah anak manusia
dengan aneka rasa

hujan yang lelapkan kenanganku
pada arus tempatku menyeru rindu
membingkaikan satu arti bahagia
meski cuma berwajah setengah luka

aku memaafkan semua dendam
yang keruh dan tak berhaluan
aku pejamkan rasa di atas awan
biar jatuh
luruh bersama rinainya pelangi.
Atau gemuruh angin menambah dingin
juga sepi yang pecah berkeping

diamkan saja dengan sebutir do'a
sebab kita tak punya daya untuk melerai semua

210412

Janji Maya

Kau ukir sebutir janji
di ujung hati
yang beningkan rasamu
menjadi merpati dengan sayap
bidadari
bermata jeli
bermahkotakan matahari
dan selendang sakti
kau ukir gurisan mimpi
jadi warna pelangi
saat senja jatuh di pusat bumi
dan melodi alam tarikan tarian
kasih sayang
diantara belukar yang temaram
tak terjemah kebisuan
tak terjamah luka
dia memanjakan bathinku
bathinmu.

Tapi akhirnya membunuh seluruh jejak yang terpahat sempurna
hanya dengan satu getar curiga.
Sirnakan rasa dalam jiwa.
Tiada asa di sudut lara.
Selain terpaan kata.
Dan itu sudah tak bernyawa.
Di binaran mata.
Terbunuh lekatnya dusta.
Jadi hanya bangkai berulat sutra
di hati yang keringkan cinta.
Percuma.

Kau umbar laksa pinta
bait maaf sempurna
sedang akhirnya hanya
fatamorgana yang bicara.
O..naifnya..


190412

SEBERKAS CAHAYA

Binar mentari belum lagi sempurna
masih berselimut dingin dan mega
namun senyum mawarku telah turun ke semesta raya
menatap bening pagi yang indah berbalut nuansa tawa pipit dan cempaka

udara sebentar lagi akan merona
bangunlah wahai sahabat sahabat pena
ungkapkan rasa dan karya cipta
jangan lah duduk termenung
bermuram durja
apalagi hanya melamun mendura

semua orang tentu pernah merasa
hidup segan mati pun tentu segan
peliknya rasa dan masalah jangan buat kau terpedaya
mari nikmati sinar mentari yang berkilauan bak selendang dari kain sutera

230412

Memapar Bias Hati

Seperti hujan yang mengurai cinta
Lewat rintik kecil mengecup semesta
Resapnya luaskan damai menggeleta
Menyentuh keping jiwa-jiwa terlunta


Begitulah hati memapar bias rindu
Coba selaraskan nada-nada sendu
Dari petikan beribu harap berpadu
Membentuk getar rasa nuansa syahdu

Engkau, yang berpijak dikejauhan
Membawa pecahan kalbu tertawan
Memasung tangis dalam senyuman
Membelai risauku dengan ketulusan

Dirimu, yang mengulur rentang sabar
Menanti angkuhku letih dan bersandar
Tiada melukis jenuh walau sebentar
Tak sekalipun hias kata dengan ingkar

Bilakah benar waktu jadi tak terbatas
Kala untai kasih berhak atas balas
Maka biar masa nanti penuh mengulas
Mengukuhkan kisah tiada pernah meretas


Biar kini asaku berubah menyerpih
Melepasnya terbang bebas memilih
Menyambut lantun kidung sang kekasih
Abadikan elok lirik pada lembar putih

Sabtu, 21 April 2012

Retak

Mereguk tetes demi tetes sepi
Yang jadikan malam tergenapi

Hanyut benak dilautan kelam
Meraba memori kian menghitam

Adakah nyata luapan sebentuk hati
Yang kini disapu rindu tanpa mengerti

Apa itu asa, masih jauh nian kuasa
Sungguhkah ini rasa, tetap saja biasa

Pudar menghilang sebuah bayang
Dalam pelukan badai lembut menerjang

Sekejap mata, kenangan tersapu
Tak lagi pada silam jiwa bertumpu

Terbuka realita, tentang dimana terletak
Sebenarnya cinta, perlahan mulai retak

Jumat, 20 April 2012

Dan Kau Pun Pergi

Berkali aku mencoba mengerti
berkali aku menghibur sepi
memeluk bayangmu agar tetap di sini
dalam rima pertemanan yang kuberikan
namun jiwa bukanlah dua mata sama
dua telinga sama
bukan pula sedarah seirama

pergilah
bila langkahku terlalu berat untuk tetap di sisimu
terbanglah
sesuka sayapmu melayang dalam
buana
aku pun akan melintas di jalan yang kuangap nirwana
meski sorot matamu bicara
tak bisa beranjak menepis rasa

lupakan..
Biarkan
kepakkanlah sayapmu
dan petikkan bintang untuk tidurku..
Nanti malam
meski kita tak bisa melangkah
sewarna sejiwa..
Seperti pagi dan matahari.

140412

Kamis, 19 April 2012

Kenangan pada Jejak Masa

Menatap dari tepian sebuah danau
Yang mukanya rapat oleh hijau
Benarkah tertutup kubangan lampau
Sedang tiap tetesnya adalah risau

Maka dibiarkan daun berjatuhan
Sembunyikan pantulan kepedihan
Hingga tak kan membias bayangan
Sebentuk kelam ingin terlupakan

Namun, tak jua samar laju satu kisah
Sebab dedaunan pun berguratkan resah
Menyempurnakan gambaran langkah
Yang dulu terseok dan menyeret lelah

Tak lagi rimbun pohon yang bermula
Dari benih-benih kenangan berkala
Menguatkan waktu menang atas segala
Mengakar pada jejak masa tak bersela

Bahkan sesekali nuri masih bercerita
Parau kicaunya setia senandungkan cinta
Diatas dahan yang tak mengenal renta
Hingga matanya tiada menangkap pelita

CATATAN PAGI

Indah nian aroma pagi ini
bening menyentuh relung terbeningku
memekarkan ribuan kelopak melati
dari balik jendela
tempat angin menyapa ramah mata
dan daun jambu yang bergetar penuh cinta
aku menebar kidung senyawa
antara aku, ibu dan hidupku
terasa pelangi senja
berhiaskan romantika
dan pahatan tawa yang mustika

kupandangi embun yang bergulir di jemari
dingin telah lama pergi
mentari kini bertahta menorehkan jingga senyuman ke mata hati
cinta yang kubasuh di mata renta
ibuku dan surga di telapaknya
seolah mengingatkan satu kata
bersyukur untuk semua yang tergenggam dalam dunia nyata
tempatku merajut rangkai cerita
hingga ke muara usia

  detak pagi, 130412

ANGIN SENJA

Dalam rona sempurna
kau menafsirkan berjuta rasa cinta
merah dan jingga
menyilaukan balutan kelopak mata
kureguk sinaran di ufuk jauh
seakan ingin kudamaikan hatiku
ingin kudekap pulas mentari terakhir kali
sebelum malam beranjak mengajaknya pergi
hingga pagi menuntun embun
untuk perciki senyuman baru
di pagi nan jelita

nafasku pun tertinggal dalam awan dan pelangi
sesaat mentari pergi
diam bisu di keranda waktu
menyisakan segenggam larut madu
di bibir hariku

180412

CAHAYA HATI

aku bahasakan engkau matahari
sebab sinarmu tak henti menyinariku
saat kulelah dan terjatuh
kau hangatkan semangatku
kau embunkan luka laraku
seakan kau bintang dalam gelap berhujan pekat

Dan aku melintasi padangmu bak seekor kupu tersesat dalam pelukan bunga dan madu impian

Aku bahasakan dirimu rindu
sebab engkau putih dalam perjalananku
kau semaikan kasih dengan ketulusanmu
bukan lantaran sebab kau pecinta sejatiku.

SEPI

setitik sepi
kureguk damai dalam hati
setelah berputar dengan bising
dan ombak jalan yang kian palsu

Setitik sepi
mencuri mimpi
meluruhkan semua resah hati
dan menjalin satu ikatan suci
serupa tikaman belati
atau bayang bayang menari
memaparkan legam elegi
sebuah rasa yang jauh pergi
sisakan biru di lantai hati
seusai lekap malam menjemput jingga pagi
kembali menitis di jejak hari

  120412

Hakmu Untuk Menggapainya

teman teman
jika dunia semuanya makan ayam
dan kau sukanya sapi
kayaknya udah saatnya untuk bilang,
aku suka sapi

ketika orang orang disekitarmu memelihara walet
dan kau sukanya merpati
kayaknya udah saatnya untuk bikin
sarang merpati yang paling kamu impi impikan
dan teriak, ini yang aku mau !

ketika kau ingin memahat gunung,
ketika semua orang ingin terbang ke udara dan berjalan jalan
getarkan di hati
getarkan dengan keras di hati
yang kau mau, yang kau inginkan
karena kamu berhak tuk menggapainya

Nafas

rona nafas kita
perlahan terhembus
juga waktu hidup
yang kini ada,
masih terjaga di sisi dunia

terbata bata
mencoba mengucap lafadz
mencoba menjadi lebih berguna

hati yang kadang candu
dengan segala kekeruhan
yang dirasa bagian dari kenikmatan

hati yang kadang sendu
akibat terlalu jauh dari rasa bersyukur

hati yang kadang mencoba untuk berbohong
untuk mengelabui diri sendiri
dari kebenaran

terbata bata
terus mencoba mengucap lafadz
mencoba menjadi lebih berguna

Menembus Kedalaman

lautan teduh
jernih biru cerah
mengambang di pertengahan
di antara hamburan air tenang

matahari pagi dan sinarnya
yang terombang ambing ombak
menerangi dasar lautan
pasir putih di antara karang karang

nyaman dalam dekapan
tabung udara yang baru terisi penuh
begitu sunyi

kulihat mutiara
berkilau di antara ketiadaan
memukau

Langit pagi

Langit pagi ini masih berjelaga
terhisap racun dunia
yang berulah seenak semaunya
tak peduli menginjak bara dan lara

kurenungi sebutir embunku
yang kusentuh dalam dingin
kuluruhkan airmataku
dalam semua yang menyebut rindu
kusayangi dirimu
meski kerap pedih lukaiku

tak apa
bila darahku
menawarkan kepuasanmu.
Aku hanya sebentar singgah
di sini..
Sudah itu akan luruh bersama daun yang jatuh erguguran
saling membisu

100412

Sabtu, 14 April 2012

Ketika Kearifan Mulai Runtuh

Ingin hati terlelap
Dalam hening sekejap
Hingar biar lesap
Deru pun ikut lenyap


Apa yang terdengar
Saat pecah bingar
Buat rasa bergetar
Tak teraba oleh nalar


Nyaniannya adalah luka
Dilantunkan bersama duka
Memaksa suram terbuka
Dari celah tak tereka


Lihatlah kini seisi dunia
Telah renta dimakan usia
Hingga terkikis sifat mulia
Menertawakan antar manusia

Tak ada lagi jiwa tersentuh
Pada mereka yang berpeluh
Menahan tempaan angkuh
Ditengah kearifan yang runtuh

Musnah sudah tutur anggun
Sikap bersahaja hanyalah lamun
Tiada lembut kata tersusun
Mati sudah nilai sopan santun

"MENERTAWAKAN KEKURANGAN ORANG LAIN SEBAGAI LELUCON, SEPERTINYA TELAH MENJADI PENYAKIT KRONIS BANGSA INI. DENGAN ALASAN MENGHIBUR, MENGHALALKAN PERENDAHAN FISIK DAN KEEMAMPUAN ORANG LAIN SEBAGAI HUMOR. LALU APA GUNANYA PENDIDIKAN MORAL YANG DIBERIKAN? MARI MENJADI GENERASI YANG LEBIH CERDAS MEMILIH BAHAN HUMOR!"

Senin, 09 April 2012

DOKUMENTASI PUISI ASRUL SANI

 
Asrul Sani (lahir di Rao, Sumatra Barat, 10 Juni 1926 — meninggal di Jakarta, 11 Januari 2004) adalah seorang sastrawan dan sutradara film ternama asal Indonesia.
Ia merupakan anak bungsu dari tiga orang bersaudara. Ayahnya, Sultan Marah Sani Syair Alamsyah Yang Dipertuan Padang Nunang Rao Mapat Tunggul Mapat Cacang, merupakan kepala adat Minangkabau di daerahnya. Ibunya Nuraini binti Itam Nasution, adalah seorang keturunan Mandailing.
Asrul menyelesaikan pendidikan dasar di kampung halamannya Pasaman, Sumatera Barat. Selesai dari Sekolah Rakyat di Rao, Asrul merantau ke Jakarta untuk belajar di Sekolah Teknik, lalu masuk ke Fakultas Kehewanan Universitas Indonesia (sekarang IPB). Dia sempat pindah ke Fakultas Sastra UI, namun kembali lagi hingga tamat memperoleh titel dokter hewan (1955). Setelah itu dia mengikuti seminar internasional mengenai kebudayaan di Universitas Harvard (1954), memperdalam pengetahuan tentang dramaturgi dan sinematografi di Universitas California Selatan, Los Angeles, Amerika Serikat (1956), dan kemudian membantu Sticusa di Amsterdam (1957-1958).
Bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin, ia mendirikan "Gelanggang Seniman" (1946) dan secara bersama-sama pula menjadi redaktur "Gelanggang" dalam warta sepekan Siasat. Selain itu, Asrul pun pernah menjadi redaktur majalah Pujangga Baru, Gema Suasana (kemudian Gema), Gelanggang (1966-1967), dan terakhir sebagai pemimpin umum Citra Film (1981-1982).
Asrul pernah menjadi Direktur Akademi Teater Nasional Indonesia, Ketua Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi), anggota Badan Sensor Film, Ketua Dewan Kesenian Jakarta, anggota Dewan Film Indonesia, dan anggota Akademi Jakarta.
Selain dikenal sebagai penyair dan sutradara film, Asrul juga merupakan seorang politisi. Sejak tahun 1966 hingga 1971, dia duduk di parlemen mewakili Partai Nahdlatul Ulama, dan berlanjut hingga tahun 1982 mewakili Partai Persatuan Pembangunan. Tahun 2000 Asrul menerima penghargaan Bintang Mahaputra dari Pemerintah RI.


ON TEST

Engkau akan kubawa pergi
Dari candi ini
Ke tempat di mana manusia ada

Coba, coba
Di sana kata
Tidak hanya punya kita
Dan cinta mungkin kabur
Dalam kabut debu
Dan hidup menderu
Melingkungi engkau dan aku

Jalan panjang
Sampai di mana dunia terkembang?
Mata terlalu singkat untuk itu

Panjang jangan reka
Tujuan jangan terka
Pandang, di sana ada mereka,
Di sana ada mereka

Engkau akan kubawa pergi
Dari candi ini
Ke dunia: hidup air-dan-api


ORANG DALAM PERAHU

Hendak ke mana angin buritan ini
membawa daku
sedang laut tawar tiada mau tahu
dan bintang, tiada
pemberi pedoman tentu

Ada perempuan di sisiku
sambil tersenyum
bermain-main air biru
memandang kepada panji-panji
di puncak tiang buritan
dan berkata
"Ada burung camar di jauhan!”

Cahaya bersama aku
Permainan mata di tepi langit
akan hilang sekejap waktu

Aku berada di bumi luas,
Laut lepas
Aku lepas
Hendak ke mana angin buritan
membawa daku


DONGENG BUAT BAYI ZUS PANDU

Sintawati datang dari Timur,
Sintawati menyusur pantai
Ia cium gelombang melambung tinggi
Ia hiasi dada dengan lumut muda,

Ia bernyanyi atas karang sore dan pagi,
Sintawati telah datang dengan suka sendiri

Sintawati telah lepaskan ikatan duka
Sintawati telah belai nakhoda tua,
Telah cumbu petualang berair mata
Telah hiburkan perempuan-perempuan bernantian
di pantai senja

Jika turun hujan terlahir di laut
Berkapalan elang pulang ke benua
Sintawati telah tunggu dengan wama biang-lala,
Telah bawa bunga, telah bawa dupa

Sintawati mengambang di telaga gunung,
Dan panggil orang utas yang beryakinkan kelabu
Telah menakik haruman pada batang tua,
Telah dendangkan syair dari gadis remaja

Sintawati telah menyapu debu dalam kota
Telah mendirikan menara di candi-candi tua,
Sintawati telah bawa terbang cuaca,
Karena Sintawati senantiasa bercinta

Sintawati datang dari Timur,
Sintawati telah datang ..........
.......... datang,
Sinta
datang ......!


Sebagai kenangan kepada Amir Hamzah
PENYAIR YANG TERBUNUH

Ciumlah pinggir kejauhan
tangan terkulai karena revolusi !
Tinggalkanlah ribaan bunda
dan mari kita iringkan desir air di pasir
nikmati tokoh perawan dan gadis penari !
Kembangkan layar ! Pelaut remaja,
Baringkanlah diri di-timbaruang
dan pandang bintang tiada tertambat di pantai

Rahasia kita hanya disembunyikan laut,
Tiada mungkin di sana hati merindu lagi
Sayang engkau tiada kenal gelombang,
Gelombang dari rahasia pencalang
gelombang dari nakhoda yang tiada tahu pulang.

Kami akan selamanya cintakan engkau,
engkau penyair !
Lagu yang dulu kau dendangkan atas kertas gersang
Nanti kami rendam di laut terkembang.
Hati kita akan sama selalu,
dari waktu sampai waktu,
Apa yang akan kita bisikan senja ini
Akan jadi suara lantang di waktu pagi.
Simpanlah kertas dan pena
Hanya yang bernyawa
yang akan hidup selalu.
Sendu yang kaurasa,
di pagi kami telah membuka cahaya.


VARIASI ATAS SUATU TANGGAPAN SESAT

Petandang mendendangkan kuda kampung di jalan sunyi
Pada malam yang jatuh kerut merut ke bumi
Serta rindu dendam dan matahari
Nanti berakhir pada burung bernyanyi, dan budak-kecil sunyi sendiri

Lamban jatuh tali-temali
Dan berduka camar yang bertengger di tiang tinggi
Serta rindu dendam gelombang dan matahari
Nanti berakhir pada arus tiada berperi, dan pemukat sunyi sendiri

Ambillah keluhan dan buang segala sedu-sedan
Berlupa sementara akan keliling yang mengikat
Dan kita mau berlepas untuk suatu kenyataan-merdeka,
Selamat saat masih sibuk dengan asmara sendu

Jangan tunggu sampai kuda kampung bebas dari bersunyi,
Burung camar tiada lagi bertengger di tiang tinggi,
Harga besar, tetapi waktu singkat
Lambai kekasih! Putar kemudi dan mari berlari

Kuda dan camar telah berlepas dari yang sementara
Dan kini larut dari lesu dan kerja
Kita juga tidak lagi mau perduli,
Ada ruang dalam kelemahan malam untuk persiapan besok pagi!


POTRET SENDIRI AKHIR TAHUN ‘50

Tiada lagi, kenangan! Tiada lagi
Jalan kembali telah terkunci,
Pasir mersik beterbangan melarikan jejak kaki,
Tulang-tulang dada sampai meranggah,
Berderik merih karena cekikan
Tetapi pandangan terakhir telah terlupa

Memang kota yang kudekati,
telah kelabu tenggelam dalam peresapan
Serta perburuan si pongang telapak
pada dinding dan ruh-ruh yang telah penasaran
Jalan-jalan lengang, di lorong-lorong tiada lagi
terdengar pekikan

Toh aku mesti jalan,
Kaki berpasang-pasangan, mata ikuti sosok tubuhku,
Tapi ini mata pun mata mati
mati dari mulut yang tiada akan bercerita lagi

Ada hati, kalau betul ada hati
Ia merasa kasihan dengan tiada perlu
Dalam mencari kawan baru
Aku hanya ingin menafaskan udara lain
Orang liwat jurang dan tinggalkan dataran

Jika hasil adalah: belati tadi ada di sisi
sekarang tertancap di dada sendiri
Maka kata akhir bukan lagi padaku
Hasil boleh datang kapan ia mau


P E N G A K U A N

Akulah musafir yang mencari Tuhan
Atas runtuhan gedung dan dada yang remuk
Dalam waktu tiada kenal berdiam dan samadi
Serta kepercayaan pada cinta yang hilang bersama kabut pagi
Akulah yang telah berperi
Tentang kerinduan akan penyelesaian yang tamat,
Dari manusia, dari dunia dan dari Tuhan

Ah, bumi yang mati,
Lazuardi yang kering
Bagaimana aku masih dapat,
Menyayangkan air mata berlinang
dari kembang kerenyam yang kering
Sedang kota-kota dan rumah-rumah bambu
lebih rendah dari wajah lautan

Satu-satu masih terbayang antara pelupuk mata
telah hampir terkatup,
Karena murtad. karena tiada percaya
Karena lelah, karena tiada punya ingatan,
Suatu lukisan dari deru air berlayar atas lunas
berganti-ganti bentuk

Dari suatu lembah gelap dan suram
Menguapkan kabut mati dari suatu kerahasiaan,
Tuhan yang berkata
Akulah musafir yang mencari Tuhan,
Dalam negeri batu retak
Lalang dan api yang siap bertemu
Suatu kisah sedih dari sandiwara yang lucu,
Dari seorang pencari rupa,
Dari rupa yang tiada lagi dikenalnya

Perawan ringan, perawan riang
Berlagulah dalam kebayangan
Berupa warena
Berupa wareni,

Dan berlupalah sebentar akan kehabisan umur
Marilah bermain
Marilah berjalin tangan
Jangan ingat segala yang sedih,
Biarkanlah lampu-lampu kelip
Lebih samar dari sinar surya senja
Kita akan bermain,
Dan tidur pulas, sampai
Datang lagi godaan:
"Akulah musafir yang mencari Tuhan”


M A N T E R A

Raja dari batu hitam,
di balik rimba kelam,
Naga malam,
mari kemari !

Aku laksamana dari lautan menghantam malam hari
Aku panglima dari segala burung rajawali
Aku tutup segala kota, aku sebar segala api,
Aku jadikan belantara, jadi hutan mati

Tapi aku jaga supaya janda-janda tidak diperkosa
Budak-budak tidur di pangkuan bunda
Siapa kenal daku, aku kenal bahagia
tiada takut pada pitam,
tiada takut pada kelam
pitam dan kelam punya aku

Raja dari batu hitam,
Di balik rimba kelam,
Naga malam,
Mari kemari !

Jaga segala gadis berhias diri,
Biar mereka pesta dan menari
Meningkah rebana
Aku akan menyanyi,
Engkau berjaga dari padam api timbul api.
Mereka akan terima cintaku
Siapa bercinta dengan daku,
Akan bercinta dengan tiada akhir hari

Raja dari batu hitam
Di balik rimba kelam,
Naga malam,
Mari kemari
Mari kemari,
Mari !


LAGU DARIPADA PASUKAN TERAKHIR

Pada tapal terakhir sampai ke Jogja
bimbang telah datang pada nyala
langit telah tergantung suram
kata-kata berantukan pada arti sendiri.

Bimbang telah datang pada nyala
dan cinta tanah air akan berupa
peluru dalam darah
serta nilai yang bertebaran sepanjang masa
bertanya akan kesudahan ujian
mati atau tiada mati-matinya

O Jendral, bapa, bapa,
tiadakan engkau hendak berkata untuk kesekian kali
ataukah suatu kehilangan keyakinan
hanya kanan tetap tinggal pada tidak-sempurna
dan nanti tulisan yang telah diperbuat sementara
akan hilang ditup angin, karena
ia berdiam di pasir kering

O Jenderal, kami yang kini akan mati
tiada lagi dapat melihat kelabu
laut renangan Indonesia.

O Jendral, kami yang kini akan jadi
tanah, pasir, batu dan air
kami cinta kepada bumi ini

Ah mengapa pada hari-hari sekarang,
matahari sangsi akan rupanya,
dan tiada pasti pada cahaya
yang akan dikirim ke bumi.

Jendral, mari Jendral
mari jalan di muka
mari kita hilangkan sengketa ucapan
dan dendam kehendak pada cacat-keyakinan,
engkau bersama kami, engkau bersama kami

Mari kita tinggalkan ibu kita
mari kita biarkan istri dan kekasih mendoa
mari jendral mari
sekali in derajat orang pencari dalam bahaya,
mari jendral mari jendral mari, mari .......


KEKASIH YANG KELU
Untuk seorang sahabat

Air mata, adalah sekali ini air mata dari hati
     yang mengandung durja,
Dan kelulah kekasih senantiasa berpisah
Tiadalah lagi senyum yang akan timbul karena suatu kemenangan
Habislah segala kenangan-selalu pada fajar-selalu
     yang membawa harap.

Sudah tahu, suatu kesalahan sekali,
Telah merobah titik asal harap,
Dan karena gelombang yang memukul tinggi
dengan segala rahasia dan senjata yang ada dalam kerajaannya
Telah jadikan suatu cinta yang marak-hidup lepas dari lembaga
Dan gamitan tangan dan mata berhenti pada suatu keluh
     sedan dari jiwa yang berduka.

Bangunlah kekasih, berilah daku bahagia,
Dari segala cahaya yang ada padamu.
Bagiku, keluhan yang lama akan
mematikan segala tindakan,
Membuat lagak tidak punya tokoh
Ucapan kehilangan asal dan bekas
Serta ini pulau-banyak dan intan laut yang kukasihi,
Akan menjadi suatu bencana dari kelumpuhan orang berpenyakit pitam

Aku akan hilang-lenyap, tiada meninggalkan nama.
Suatu sedih sangsai dari diriku,
Atas suatu panggilan dengan suara kecil
Dari laki-laki di depan laut di belakang gunung.

Berikan suatu pekikan peri,
Dan ini akan lebih membujuk
Dari suatu mulut terbuka, tapi tiada berkata.
Air mata yang terbayang, tetapi tiada berlinang
Dari suatu kebisuan, dari suatu kebisuan

Jika ini adalah suatu impian,
Maka janganlah bermimpi,
bagaimanapun terang malam.
Sedang daku akan berjaga,
sampai sosok tali dan tiang
tergantung pada sinar pagi yang timbul.

Suatu khianat yang telah memakan cinta
suatu kebakhilan manusia yang enggan beryakin
suatu noda,
Dan suatu derita dan keluh yang mengelu
......................

Demikianlah sahabat mari berdoa,
mari berdoa,
kita akan berdoa,
kita akan berdoa, kita akan berdoa
kita akan berdoa, untuk pagi hari yang akan timbul


SURAT DARI IBU

Pergi ke dunia luas, anakku sayang
pergi ke dunia bebas!
Selama angin masih angin buritan
dan matahari pagi menyinar daun-daunan
dalam rimba dan padang hijau

Pergi ke laut lepas, anakku sayang
pergi ke alam bebas!
Selama hari belum petang
dan warna senja belum kemerah-merahan
menutup pintu waktu lampau

Jika bayang telah pudar
dan elang laut pulang ke sarang

angin bertiup ke benua
Tiang-tiang akan kering sendiri
dan nakhoda sudah tahu pedoman
boleh engkau datang padaku!

Kembali pulang, anakku sayang
kembali ke balik malam!
Jika kapalmu telah rapat ke tepi
Kita akan bercerita
“Tentang cinta dan hidupmu pagi hari"


ELANG LAUT

Ada elang laut terbang
senja hari
antara jingga dan merah
surya hendak turun,
pergi ke sarangnya

Apakah ia tahu juga,
bahwa panggilan cinta
tiada ditahan kabut
yang menguap pagi hari?

Bunyinya menguak suram
lambat-lambat
mendekat, ke atas runyam
karang putih,
makin nyata

Sekali ini jemu dan keringat
tiada akan punya daya
tapi topan tiada mau
dan rnengembus ke alam luas

Jatuh elang laut
ke air biru, tenggelam
dan tiada timbul lagi
Rumahnya di gunung kelabu
akan terus sunyi.

Satu-satu akan jatuh membangkai
ke bumi, bayi-bayi kecil tiada bersuara
Hanya anjing,
malam hari meraung menyalak bulan
yang melengkung sunyi
Suaranya melandai
turun ke pantai
Jika segala
senyap pula,
berkata pemukat tua:
"Anjing meratapi orang mati!"

Elang laut telah hilang ke lunas kelam
topan tiada bertanya
hendak ke mana dia
Dan makhluk kecil
yang membangkai di bawah
pohon eru, tiada pula akan berkata:
"Ibu kami tiada pulang"


E L E G I

Ia yang hendak mencipta,
menciptalah atas bumi ini.
Ia yang akan tewas,
tewaslah karena kehidupan.
Kita yang mau mencipta dan akan tewas
akan berlaku untuk ini dengan cinta,
dan akan jatuh seperti permata mahkota
berderi sebutir demi sebutir

Apa juga masih akan tiba,
Mesra yang kita bawa, tiadalah
kita biarkan hilang karena hisapan pasir
Engkau yang telah berani menyerukan
Kebenaranmu dari gunung dan keluasan
Sekali masa akan ditimpa angin dan hujan

Jika suaramu hilang dan engkau mati.
Maka kami akan berduka, dan kawan
menghormat bersama kekasih kami.

Kita semua berdiri di belakang tapal,
Dari suatu malam ramai,
Dari suatu kegelapan tiada berkata,
Dari waktu terlalu cepat dan kita mau tahan,
Dari perceraian — tiada mungkin,
Dan sinar mata yang tiada terlupakan.

Serulah, supaya kita ada dalam satu barisan,
Serulah, supaya jangan ada yang sempat merindukan senja,
Terik yang keras tiada lagi akan sanggup
mengeringkan kembang kerenyam
Pepohonan sekali lai akan berdahan panjang
Dan buah-buahan akan matang pada tahun yang akan datang.
Laut India akan melempar parang
Bercerita dari kembar cinta dan perceraian

Aku akan minta, supaya engkau
Berdiri curam, atas puncak dibakar panas
dan sekali lagi berseru, akan pelajaran baru.
Waktu itu angin Juni akan bertambah tenang
Karena bulan berangkat tua
Kemarau akan segan kepada bunga yang telah berkembang.

Di sini telah datang suatu perasaan,
Serta kita akan menderita dan tertawa.
Tawa dan derita dari yang tewas
yang mencipta .....


ANAK LAUT

Sekali ia pergi tiada bertopi
Ke pantai landasan matahari
Dan bermimpi tengah hari
Akan negeri di jauhan

Pair dan air seakan
Bercampur. Awan
tiada menutup
mata dan hatinya rindu
melihat laut terbentang biru

Sekali aku pergi
dengan perahu
ke negeri jauhan
dan menyanyi
kekasih hati
lagu merindukan
daku

Tenggelam matahari
Ufuk sana tiada nyata
bayang-bayang bergerak perlahan
aku kembali kepadanya

Sekali ia pergi tiada bertopi
Ke pantai landasan matahari
Dan bermimpi tengah hari
Akan negeri di jauhan

Minggu, 08 April 2012

Rekah Kuncup Syukur

Ceritakanlah tentang pagi
Yang jadi pembuka elegi

Berkisah tentang kehidupan
Yang terkadang memilukan

Dalam rentetan kata
Berbaris butir airmata

Begitu panjangnya hari
Nanti tak cukup yang diberi

Senyum ini tetaplah hambar
Bila syukur tak jua terlontar

Kadang berlari, juga tertatih
Pernah berseri, pun merintih

Maka hanya dalam sujud
Sejatinya bahagia terwujud

Mestinya meniti tiap langkah
Dari kuncup syukur merekah 

Sabtu, 07 April 2012

DOKUMENTASI PUISI TAUFIQ ISMAIL

oleh Pakde Azir

TAUFIQ ISMAIL dilahirkan 25 Juni 1935 di Bukittinggi, menghabiskan masa SD dan SMP di Bukittinggi dan SMA di Pekalongan. Tumbuh dalam keluarga guru dan wartawan yang suka membaca. Ia telah bercita-cita menjadi sastrawan sejak masih SMA. Dengan pilihan sendiri, ia menjadi dokter hewan dan ahli peternakan karena ingin memiliki bisnis peternakan guna menafkahi cita-cita kesastraannya. Ia tamat Fakultas Kedokteran Hewan UI Bogor (sekarang IPB) pada 1963 tapi gagal punya usaha ternak yang dulu direncanakannya di sebuah pulau di Selat Malaka.
Semasa kuliah aktif dalam organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII), Ketua Senat Mahasiswa FKHP-UI (1960-1961) dan Wakil Ketua Dewan Mahasiswa UI (1961-1962).
Di Bogor pernah jadi guru di SKP Pamekar dan SMA Regina Pacis, juga mengajar di IPB. Karena menandatangani Manifesto Kebudayaan, gagal melanjutkan studi manajemen peternakan di Florida (1964) dan dipecat sebagai dosen di IPB.
Ia menulis di berbagai media, jadi wartawan, salah seorang pendiri Horison (1966), ikut mendirikan DKJ dan jadi pimpinannya, Pj. Direktur TIM, Rektor LPKJ dan Manajer Hubungan Luar Unilever. Penerima beasiswa AFS International Scholarship, sejak 1958 aktif di AFS Indonesia, menjabat sebagai Ketua Dewan Pembina Yayasan Bina Antarbudaya, penyelenggara pertukaran pelajar antarbangsa yang selama 41 tahun (sejak 1957) telah mengirim 1.700 siswa ke 15 negara dan menerima 1.600 siswa asing di sini.
Pengkategoriannya sebagai penyair Angkatan '66 oleh Hans Bague Jassin merisaukannya, misalnya dia puas diri lantas proses penulisannya macet. Ia menulis buku kumpulan puisi, seperti Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia, Tirani dan Benteng, Tirani, Benteng, Buku Tamu Musim Perjuangan, Sajak Ladang Jagung, Kenalkan, Saya Hewan, Puisi-puisi Langit, Prahara Budaya:Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI dkk, Ketika Kata Ketika Warna, Seulawah – Antologi Sastra Aceh, dan lain-lain.
Banyak puisinya dinyanyikan Himpunan Musik Bimbo, pimpinan Samsudin Hardjakusumah, atau sebaliknya ia menulis lirik buat mereka dalam kerja sama. Iapun menulis lirik buat Chrisye, Yan Antono (dinyanyikan Ahmad Albar) dan Ucok Harahap. Menurutnya kerjasama semacam ini penting agar jangkauan publik puisi lebih luas.
Taufiq sering membaca puisi di depan umum. Di luar negeri, ia telah baca puisi di berbagai festival dan acara sastra di 24 kota Asia, Australia, Amerika, Eropa, dan Afrika sejak 1970. Baginya, puisi baru ‘memperoleh tubuh yang lengkap’  jika setelah ditulis, dibaca di depan orang.
Bosan dengan kecenderungan puisi Indonesia yang terlalu serius, di awal 1970-an menggarap humor dalam puisinya. Sentuhan humor terasa terutama dalam puisi berkabar atau narasinya. Antologi puisi humornya berjudul Rendez-Vous diterbitkan di Rusia dalam terjemahan Victor Pogadaev dan dengan ilustrasi oleh Aris Aziz dari Malaysia (2004.)


(1) 1946 : LARUT MALAM SUARA SEBUAH TRUK


       Sebuah Lasykar truk
       Masuk kota Salatiga
       Mereka menyanyikan  lagu
       'Sudah Bebas Negeri Kita'

       Di jalan Tuntang seorang anak kecil
       Empat tahun terjaga :
       'Ibu, akan pulangkah Bapa,
       dan membawakan pestol buat saya ?'


       1963


(2) BAGAIMANA KALAU


Bagaimana kalau dulu bukan khuldi yang dimakan Adam, tapi buah alpukat,
Bagaimana kalau bumi bukan bulat tapi segi empat, 
Bagaimana kalau lagu Indonesia Raya kita rubah, 
dan kepada Koes Plus kita beri mandat, 
Bagaimana kalau ibukota Amerika Hanoi, 
dan ibukota Indonesia Monaco, 
Bagaimana kalau malam nanti jam sebelas, 
salju turun di Gunung Sahari, 
Bagaimana kalau bisa dibuktikan bahwa Ali Murtopo, Ali Sadikin dan Ali Wardhana
ternyata pengarang-pengarang lagu pop, 
Bagaimana kalau hutang-hutang Indonesia 
dibayar dengan pementasan Rendra, 
Bagaimana kalau segala yang kita angankan terjadi, 
dan segala yang terjadi pernah kita rancangkan, 
Bagaimana kalau akustik dunia jadi sedemikian sempurnanya
sehingga di kamar tidur kau dengar deru bom Vietnam, gemersik sejuta kaki 
pengungsi, gemuruh banjir dan gempa bumi sera suara-suara 
percintaan anak muda, juga bunyi industri presisi dan margasatwa Afrika, 
Bagaimana kalau pemerintah diizinkan protes
dan rakyat kecil mempertimbangkan protes itu, 
Bagaimana kalau kesenian dihentikan saja sampai di sini
dan kita pelihara ternak sebagai pengganti 
Bagaimana kalau sampai waktunya  
kita tidak perlu bertanya bagaimana lagi. 

1971


(3) BAYI LAHIR BULAN MEI 1998


       Dengarkan itu ada bayi mengea di rumah tetangga 
       Suaranya keras, menangis berhiba-hiba 
       Begitu lahir ditating tangan bidannya 
       Belum kering darah dan air ketubannya 
       Langsung dia memikul hutang di bahunya 
       Rupiah sepuluh


       Kalau dia jadi petani di desa 
       Dia akan mensubsidi harga beras orang kota 
       Kalau dia jadi orang kota 
       Dia akan mensubsidi bisnis pengusaha kaya 
       Kalau dia bayar pajak 
       Pajak itu mungkin jadi peluru runcing 
       Ke pangkal aortanya dibidikkan


       Cobalah nasihati bayi ini dengan penataran juga 
       Mulutmu belum selesai bicara 
       Kau pasti dikencinginya

       1998


(4) BUKU TAMU MUSIUM PERJUANGAN


       Pada tahun keenam
       Setelah di kota kami didirikan
       Sebuah Musium Perjuangan
       Datanglah seorang lelaki setengah baya
       Berkunjung dari luar kota
       Pada sore bulan November berhujan
       dan menulis kesannya di buku tamu
       Buku tahun keenam, halaman seratus-delapan


              Bertahun-tahun aku rindu
              Untuk berkunjung kemari
              Dari tempatku jauh sekali
              Bukan sekedar mengenang kembali
              Hari tembak-menembak dan malam penyergapan
              Di daerah ini
              Bukan sekedar menatap lukisan-lukisan
              Dan potret-potret para pahlawan
              Mengusap-usap karaben tua
              Baby mortir buatan sendiri
              Atau menghitung-hitung satyalencana
              Dan selalu


              Alangkah sukarnya bagiku
              Dari tempatku kini, yang begitu jauh
              Untuk datang seperti saat ini
              Dengan jasad berbasah-basah
              Dalam gerimis bulan November
              Datang sore ini, menghayati musium yang lengang
              Sendiri
              Menghidupkan diriku kembali
              Dalam pikiran-pikiran waktu gerilya
              Di waktu kebebasan adalah impian keabadian
              Dan belum berpikir oleh kita masalah kebendaan
              Penggelapan dan salahguna


              Begitulah aku berjalan pelan-pelan
              Dalam musium ini yang lengang
              Dari lemari kaca tempat naskah-naskah berharga
              Kesangkutan ikat-ikat kepala, sangkur-sangkur
              berbendera
              Maket pertempuran
              Dan penyergapan di jalan
              Kuraba mitraliur Jepang, dari baja hitam
              Jajaran bisu pestol Bulldog, pestol Colt
              PENGOEMOEMAN REPOEBLIK yang mulai berdebu
              Gambar lasykar yang kurus-kurus
              Dan kuberi tabik khidmat dan diam
              Pada gambar Pak Dirman
              Mendekati tangga turun, aku menoleh kembali
              Ke ruangan yang sepi dan dalam
              Jendela musium dipukul angin dan hujan
              Kain pintu dan tingkap bergetaran
              Di pucuk-pucuk cemara halaman
              Tahun demi tahun mengalir pelan-pelan


              Deru konvoi menjalari lembah
              Regu di bukit atas, menahan nafas
              Di depan tugu dalam musium ini
              Menjelang pintu keluar ke tingkat bawah
              Aku berdiri dan menatap nama-nama
              Dipahat di sana dalam keping-keping alumina
              Mereka yang telah tewas
              Dalam perang kemerdekaan
              Dan setinggi pundak jendela
              Kubaca namaku disana .....


                       GUGUR DALAM PENCEGATAN
                       TAHUN EMPATPULUH-DELAPAN


       Demikian cerita kakek penjaga
       Tentang pengunjung lelaki setengah baya
       Berkemeja dril lusuh, dari luar kota
       Matanya memandang jauh, tubuh amat kurusnya
       Datang ke musium perjuangan
       Pada suatu sore yang sepi
       Ketika hujan rinai tetes-tetes di jendela
       Dan angin mengibarkan tirai serta pucuk-pucuk cemara
       Lelaki itu menulis kesannya di buku-tamu
       Buku tahun-keenam, halaman seratus-delapan
       Dan sebelum dia pergi
       Menyalami dulu kakek Aki
       Dengan tangannya yang dingin aneh
       Setelah ke tugu nama-nama dia menoleh
       Lalu keluarlah dia, agak terseret berjalan
       Ke tengah gerimis di pekarangan
       Tetapi sebelum ke pagar halaman
       Lelaki itu tiba-tiba menghilang


(5) DARI CATATAN SEORANG DEMONSTRAN


Inilah peperangan
Tanpa jenderal, tanpa senapan
Pada hari-hari yang mendung
Bahkan tanpa harapan


Di sinilah keberanian diuji
Kebenaran dicoba dihancurkn
Pada hari-hari berkabung
Di depan menghadang ribuan lawan

1966


(6) DARI IBU SEORANG DEMONSTRAN


"Ibu telah merelakan kalian
Untuk berangkat demonstrasi
Karena kalian pergi menyempurnakan
Kemerdekaan negeri ini"


Ya, ibu tahu, mereka tidak menggunakan gada
Atau gas airmata
Tapi langsung peluru tajam
Tapi itulah yang dihadapi
Ayah kalian almarhum
Delapan belas tahun yang lalu


Pergilah pergi, setiap pagi
Setelah dahi dan pipi kalian
Ibu ciumi
Mungkin ini pelukan penghabisan
(Ibu itu menyeka sudut matanya)


Tapi ingatlah, sekali lagi
Jika logam itu memang memuat nama kalian
(Ibu itu tersedu sedan)


Ibu relakan
Tapi jangan di saat terakhir
Kau teriakkan kebencian
Atau dendam kesumat
Pada seseorang
Walapun betapa zalimnya
Orang itu


Niatkanlah menegakkan kalimah Allah
Di atas bumi kita ini
Sebelum kalian melangkah setiap pagi
Sunyi dari dendam dan kebencian
Kemudian lafazkan kesaksian pada Tuhan
Serta rasul kita yang tercinta


pergilah pergi
Iwan, Ida dan Hadi
Pergilah pergi
Pagi ini


(Mereka telah berpamitan dengan ibu dicinta
Beberapa saat tangannya meraba rambut mereka
Dan berangkatlah mereka bertiga
Tanpa menoleh lagi, tanpa kata-kata)

1966


(7) JALAN SEGARA


Di sinilah penembakan
Kepengecutan
Dilakukan

Ketika pawai bergerak
Dalam panas matahari

Dan pelor pembayar pajak
Negeri ini

Ditembuskan ke pungung
Anak-anaknya sendiri

1966


(8) JAWABAN DARI POS TERDEPAN


Kami telah menerima surat saudara
Dan sangat paham akan isinya
Tetapi tentang pasal penyerahan
Itu adalah suatu penghinaan


Konvoi sejam lamanya menderu
Di kota. Api kavaleri memancar-mancar
Di roda-rantai dan aspal

Angin meniup dalam panas dan abu
Abu baja. Nyala yang menggeletar-geletar
Sepanjang suara


Kami yang bertahan
Beberapa ratus meter jauhnya
Bukanlah serdadu-serdadu bayaran
Atau terpaksa berperang karena pemerintahan
 

Kebebasan manusia di atas buminya
Adalah penyebab hadir pasukan ini
Dan pasukan-pasukan lainnya

Impian akan harga kemerdekaan manusia
mengumpulkan seorang tukang cukur, penanam-penanam sayur
gembala-gembala, (semua buta huruf) kecuali dua anak SMT
sopir taksi dan seorang mahasiswa kedokteran
dalam pasukan
di pos terdepan ini

Terik dan lengang dipandang tak bertuan
Abu naik perlahan dari bumi
Bumi yang telah diungsikan

Guruh dari jauh, konvoi menderu
Suara panser dan  tank-tank kecil
Mengacukan senjata-senjata baru

Kami tidak punya batalion paratroop
Cadangan sulfa, apalagi mustang dan lapis-baja
Kami hanya memiliki karaben-karaben tua
Bahkan bambu pedesaan, ujungnya diruncingkan

Pasukan ini tak bicara dalam bahasa akademi militer
Tidak juga memiliki pengalaman perang dunia
Tetapi untuk kecintaan akan kebebasan manusia
Di atas buminya
Pasukan ini sudah menetapkan harganya

Sebentar lagi malampun akan turun
membawa kesepian ajal adalam gurun


Tidakkah engkau bisa menempatkan diri
sebentar, di tempat kami
Memikirkan bahwa ibumu tua diungsikan
tersaruk-saruk berjalan kaki
Setelah rumah-rumah di kampungmu dibakari
setelah adik kandungmu ditembak mati

Adakah demi lain, yang mengatasi
demi kemanusiaan ?
Adakah ?

Di seberang sini berjaga pengawalan
Tanpa gardu dan kemah, berbaju lusuh dalam semak
Dialah yang terdepan dengan sepucuk Lee & Field
Dialah huruf pertama dari Republik

1965


(9) KALIAN CETAK KAMI JADI BANGSA PENGEMIS,  
      LALU KALIAN PAKSA KAMI  
      MASUK MASA PENJAJAHAN BARU
      Kata Si Toni


Kami generasi yang sangat kurang rasa percaya diri 
Gara-gara pewarisan nilai, sangat dipaksa-tekankan 
Kalian bersengaja menjerumuskan kami-kami 
Sejak lahir sampai dewasa ini 
Jadi sangat tepergantung pada budaya 
Meminjam uang ke mancanegara 
Sudah satu keturunan jangka waktunya 
Hutang selalu dibayar dengan hutang baru pula 
Lubang itu digali lubang itu juga ditimbuni 
Lubang itu, alamak, kok makin besar jadi 
Kalian paksa-tekankan budaya berhutang ini 
Sehingga apa bedanya dengan mengemis lagi 
Karena rendah diri pada bangsa-bangsa dunia 
Kita gadaikan sikap bersahaja kita 
Karena malu dianggap bangsa miskin tak berharta 
Kita pinjam uang mereka membeli benda mereka 
Harta kita mahal tak terkira, harga diri kita 
Digantung di etalase kantor Pegadaian Dunia 
Menekur terbungkuk kita berikan kepala kita bersama 
Kepada Amerika, Jepang, Eropa dan Australia 
Mereka negara multi-kolonialis dengan elegansi ekonomi 
Dan ramai-ramailah mereka pesta kenduri 
Sambil kepala kita dimakan begini 
Kita diajarinya pula tata negara dan ilmu budi pekerti 
Dalam upacara masuk masa penjajahan lagi 
Penjajahnya banyak gerakannya penuh harmoni 
Mereka mengerkah kepala kita bersama-sama 
Menggigit dan mengunyah teratur berirama 

Sedih, sedih, tak terasa jadi bangsa merdeka lagi 
Dicengkeram kuku negara multi-kolonialis ini 
Bagai ikan kekurangan air dan zat asam 
Beratus juta kita menggelepar menggelinjang 
Kita terperangkap terjaring di jala raksasa hutang 
Kita menjebakkan diri ke dalam krangkeng budaya 
Meminjam kepeng ke mancanegara 
Dari membuat peniti dua senti 
Sampai membangun kilang gas bumi 
Dibenarkan serangkai teori penuh sofistikasi 
Kalian memberi contoh hidup boros berasas gengsi 
Dan fanatisme mengimpor barang luar negeri 
Gaya hidup imitasi, hedonistis dan materialistis 
Kalian cetak kami jadi Bangsa Pengemis 
Ketika menadahkan tangan serasa menjual jiwa 
Tertancap dalam berbekas, selepas tiga dasawarsa 
Jadilah kami generasi sangat kurang rasa percaya 
Pada kekuatan diri sendiri dan kayanya sumber alami 
Kalian lah yang membuat kami jadi begini 
Sepatutnya kalian kami giring ke lapangan sepi 
Lalu tiga puluh ribu kali, kami cambuk dengan puisi ini 

1998


(10) KEMBALIKAN INDONESIA PADAKU 
        kepada Kang Ilen 


Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga, 
Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 wat, 
sebagian berwarna putih dan sebagian hitam,  
yang menyala bergantian, 
Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang malam  
dengan bola  yang bentuknya seperti telur angsa, 
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam  
karena seratus juta penduduknya, 


                                        Kembalikan 
                                        Indonesia 
                                        padaku 



Hari depan Indonesia adalah satu juta orang main pingpong siang malam  
dengan bola telur angsa di bawah sinar lampu 15 wat, 
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang pelan-pelan tenggelam  
lantaran berat bebannya kemudian angsa-angsa berenang-renang di atasnya, 
Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga,  
dan di dalam mulut itu ada bola-bola lampu 15 wat,  
sebagian putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian, 
Hari depan Indonesia adalah angsa-angsa putih yang berenang-renang  
sambil main pingpong di atas pulau Jawa yang tenggelam  
dan membawa seratus juta bola lampu 15 wat ke dasar lautan, 


                                        Kembalikan 
                                        Indonesia 
                                        padaku 


Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang malam  
dengan bola yang bentuknya seperti telur angsa, 
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam  
karena seratus juta penduduknya, 
Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 wat,  
sebagian berwarna putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian, 


                                        Kembalikan 
                                        Indonesia 
                                        padaku 

Paris, 1971

Kamis, 05 April 2012

Kembali pada Pemilik Cinta

Langit murung dalam pelukan mendung
Menuntun relung pada nyata membusung
Menjumpai ombak tempat pedih dilarung
Menjauh tanpa bayang hingga penghujung

Sekalipun airmata menjelmakan samudera
Tak terbias dasar dalamnya perih mendera
Lalu dimanakah mestinya tangis tertera
Jika kepingan hati telah penuh oleh lara

Namun, bila kamboja memang harus ditabur
Terbaik pula kuasa-Nya tak kan terukur
Meski panjang kalbu terdiam hening terpekur
Tak sempat mengantar langkah sudahi jalur

Saat melepas cinta dari dekapan dunia
Letih raganya dan memilih tutup usia
Tanpa kata kepergiannya menebar disforia
Yang sungguh tak lebih dari sebentuk rahasia

Kembali pada-Nya setelah usai rangkai cerita
Menuju damai sembari mengakhiri jerat derita
Maka tersenyumlah disamping "Pemilik Cinta"
Sebab tak akan lama aku berkubang duka cita

Senin, 02 April 2012

Hadirmu Untukku

Semburat senja lama telah berlalu
berganti malam yang bisu
meski menyisakan gemulai angin di pucuk daun yang menggigil dingin

dalam hening, kurengkuh nyala
gemintang yang bersinar dalam
singgasana langit
seolah memberi jalan
bagi jiwa jiwa perindu
untuk pulang dan lelap di indahnya mimpi..

Sementara simponi malam kian temaram
kusandarkan jua segala bimbang dalam cahaya do'a
yang tak putus temaniku
sejauh hatiku membayang semua pilu..

Berakhirlah sendu..di balutan merah hitamnya kelam..

Usangkan kemarau dalam jiwa kehausan dan hujan bersinggah
di awan biru..memanggil pagi segera tiba..hangati muka bumi dengan luapan cinta.

*Suara perjalanan*
220312

Selayaknya Utuh

dunia seperti gempa
ia akan mengganyang kita
atas bawah depan belakang

dunia terus berjalan
ia memberi terang, ia memberi gelap
ia memberi duka, ia memberi suka

setalah kerja keras, sukses mungkin
ketika ditimpa cobaan, berat mungkin
segalanya, akan terasa pada waktunya, mungkin

namun ada yang selayaknya utuh
bagaimanapun hitam atau putihnya hidup
tetap utuh, tidak berubah

untuk tetap jadi baik
tetap ceria, tetap maju melangkah berani
tetap peduli, tetap berbagi

tetap memperjuangkan apa yang kita percaya
tak peduli bagaimanapun dunia
kepada kita

Minggu, 01 April 2012

Hati yang Mati

Biar kelopak merah disapa bayu
Seperti getar dawai mendayu
Satu romansa semakin sayu
Hampir jatuh jua karena layu

Maka kuijinkan akhir nada mengalun
Dari suara alam cinta yang terlantun
Dikeheningan hanya tangkai berayun
Menyambut sapa badai penuh santun

Bukan bising kini sedang didengar
Namun runut kenanganlah diputar
Meski sumbang nadanya kudengar
Sebab rasa dikalbu t'lah kian hambar

Degup di dada ini lama terhenti
Namun kuntum milikmu belum mati
Masih hendak bersuara hingga nanti
Mencoba membangunkan lagi hati

Terus bernyanyi bersama semesta
Melagukan segala asa akan cinta
Tak lebih dari sederhananya pinta
Agar yang sunyi kembali jadi genta
 

Meski Kertas Tak Lagi Putih

Selembar kertas tak lagi putih
Begitu penuh kuasan tentang pedih
Berapa warnanya tak bisa dipilih
Dan tiap larik menyempurnakan rintih

Dengan tinta pena itu hidup ditulis
Bagai penggubah melodi pengiris
Menengadah dibawah tetes gerimis
Berharap pudarkan duka selapis

Namun bukan guratnya terhapus
Kertas pun basah perlahan pupus
Memberat diatas gumpal tanah halus
Sebelum sirna ketika surya menembus

Inilah sebenar-benar garis nyata
Pilu tak pernah layak diselimut dusta
Sia-sia sembunyi dibalik muram derita
Sebab kelam bukan untuk jadi cerita

Tak kan hilang apa yang telah ada
Biarlah, mengukir jejak berbeda
Jadikan utuh harap yang tertunda
Meski sejenak kelabu jadi penanda

Tunduk Dalam Zuhud

Tak pernah alam mengharap wujud
Ketika seisi tunduk dalam zuhud

Tiada mentari meminta beda
Sekedar bersinar tanpa berjeda

Maka adakah penukar angkuh
Agar lepas pula sepenuh luruh

Nyatanya tak sempurna menghamba
Hanya terus merintih mengiba

Malu pada malam pun tidak
Sebab relung ini terlanjur retak

Mesti sujud saja yang obati
Membelai segenap luka hati

LICENTIA POETICA & KREDO PUISI

Oleh: Pakde Azir

LICENTIA POETICA : KEBEBASAN BEREKSPRESI

Licentia poetica, suatu istilah yang kerap terdengar dari dunia sastra. Namun apakah licentia poetica itu? Licentia poetica adalah suatu lisensi atau izin tak tertulis yang diberikan kepada penulis karya sastra untuk menerjang kaidah tata bahasa Indonesia yang baik dan benar demi menimbulkan efek-efek tertentu sesuai keinginannya. Singkatnya dengan licentia poetica, seorang penulis ‘dihalalkan’ mempergunakan kaidah bahasa sendiri meski menyimpang.

Tampaknya era penggunaan licentia poetica dimulai sejak diperkenalkannya puisi kontemporer kepada masyarakat umum. Puisi kontemporer adalah puisi yang sudah tak terikat lagi dengan aturan-aturan penulisan puisi pada puisi baru atau puisi sebelumnya. Puisi kontemporer adalah puisi paling bebas yang pernah ada. Penyair dapat menggunakan kata-kata sesuka hatinya bahkan menggunakan kata-kata asing yang tidak tertulis di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) atau bahkan menggunakan gambar. Contoh penyair puisi kontemporer adalah Sutardji Calzoum Bachri dengan banyak sajak yang ia buat seperti :

SEPISAUPI
Oleh : Sutardji Calzoum Bachri

sepisau luka sepisau duri
sepikul dosa sepukau sepi
sepisau duka serisau diri
sepisau sepi sepisau nyanyi

sepisaupa sepisaupi
sepisapanya sepikau sepi
sepisaupa sepisaupoi
sepikul diri keranjang duri

sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sampai pisauNya ke dalam nyanyi

Pada awalnya penggunaan licentia poetica dimaksudkan sebagai pembentuk efek-efek tertentu dalam karya sastra. Misalnya kemerduan bunyi, keselarasan sajak dan keseimbangan irama yang terbentuk dari susunan kata-kata dalam suatu kalimat. Efek-efek seperti ini akan menimbulkan kesan tertentu yang dapat mempengaruhi emosi pembaca sehingga pembaca akan terbawa cerita dan benar-benar meresapi cerita tersebut. Selain itu efek lain yang ditimbulkan oleh licentia poetica adalah menggugah rasa ingin tahu pembaca akan suatu karya akibat sang pembaca merasa karya tersebut unik dan berbeda dari karya lain.

Saat ini licentia poetica masih dipergunakan dalam dunia sastra. Namun sayang banyak penulis yang sering menjadikan licentia poetica sebagai alasan bagi mereka untuk menerjang kaidah bahasa yang telah baku. Hal ini dianggap lumrah karena kebebasan berkarya tak boleh dibatasi. Namun apakah penulis tersebut memahami kaidah tata bahasa yang baik dan benar? Belum tentu. Padahal sebagai warga negara Indonesia yang baik hendaklah menjaga dan melestarikan kebudayaannya apalagi bahasa nasional.

Ya, inilah licentia poetica yang hingga kini masih menuai perdebatan di dunia sastra Indonesia. Di suatu sisi penggunaan licentia poetica dimaksudkan sebagai pemanis karya sastra namun di sisi lain menjaga kelestarian bahasa nasional adalah kewajiban setiap warga negara termasuk para penyair. Kalau sudah begini apa yang harus diperbuat?

Hendaknya yang harus kita garis bawahi adalah pelanggaran aturan bahasa atas nama licentia poetica adalah suatu hal namun buta akan aturan penggunaan bahasa yang baik dan benar adalah hal lain. Kedua hal tersebut tak dapat dipadukan karena latar belakang permasalahan yang berbeda. Sebagai bangsa Indonesia yang baik kita tidak dilarang menciptakan karya sastra karena itu adalah salah satu wujud pelestarian seni berbahasa namun juga hendaknya pemahaman akan kaidah penggunaan bahasa yang baik dan benar tidak kita abaikan.

KREDO PUISI : KEBEBASAN TANPA RAMBU
APAKAH MASIH BERADA DALAM KORIDOR LICENTIA POETICA?

Setiap penyair memiliki licentia poetica dalam penulisan puisi (kebebasan penyair dalam memilah dan memilih cara dan gaya ungkap puisinya). Untuk totalitas ekspresi terkadang penyair melakukan pelanggaran kaidah bahasa dengan tujuan mengungkapkan secara memikat dapat dihasilkan totalitas pengungkapan. Lantaran bahasa dan komunikasi senantiasa harus diutamakan, maka pelanggaran dimungkinkan sejauh untuk kebutuhan ekspresi puitik.

Menurut Shaw (1972: 291); Licentia Poetica adalah kebebasan seorang sastrawan untuk menyimpang dari kenyataan, dari bentuk atau aturan konvensional, untuk menghasilkan efek yang dikehendaki.
Bahwasanya kata “licentia poetica” yang mungkin di mata sebagian penyair masih sangat asing, namun oleh kalangan penyair lainnya bisa jadi telah menjadi santapan sehari-hari, dalam kenyataannya lebih menyerupai “tameng” bagi penyair untuk memerdekakan diri demi menulis (berkarya) sebebas mungkin. Termasuk di antaranya kemungkinan melanggar kaidah-kaidah bahasa yang ada. Kata “licentia poetica” ini seakan menyerupai nomina abstrak alias kata benda yang tidak terlihat secara kasat mata. Mengapa? Karena kita hanya sering mendengar tentangnya, bahkan selalu menggunakannya, tetapi tidak tahu dengan pasti bagaimana bentuk dan wujud aslinya. Dengan kata lain : masalah sistem, batasan, cakupan, dan lain sebagainya terkait penerapannya dalam karya sastra (puisi), hingga saat ini masih menjadi “tanda tanya” besar.

Paradigma yang berkembang selama ini tentang licentia poetica tak lebih dari kata “bebas” atau “merdeka” dalam menulis. Dengan licentia poetica seorang penyair dapat dengan leluasa menumpahkan kreatifitas ke dalam sebuah karya tanpa batasan apa pun. Dengan licentia poetica perjalanan seorang penyair akan sangat aman dan nyaman, bebas hambatan, tak ada gangguan dari siapa pun. Sehingga kesan yang timbul mengisyaratkan bahwa kaidah bahasa yang kita kenal dengan nama resmi “Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan” atau lebih sering disebut EYD, yang mulai resmi berlaku sejak tahun 1972 setelah menggantikan Ejaan Republik (Ejaan Suwandi), seolah-olah serupa hujan deras yang senantiasa menyertai, mengiringi, bahkan menjadi aral melintang dalam perjalanan seorang penyair. Dari derasnya hujan ini, muncullah licentia poetica sebagai “payung” yang luas-lebar sebagai pelindung.

Lantaran demikian abstraknya, licentia poetica pun tumbuh dan berkembang sebagai sesuatu yang sifatnya individu dalam lingkup masyarakat bahasa dan sastra, tak terkecuali kalangan penyair. Di mana “kebebasan” dimaksud lantas diinterpretasikan, dimaknai, serta dieksplorasi sedemikian rupa oleh masing-masing penggunanya. Tentu saja dengan cara, metode, maupun tingkat kemampuan yang berbeda dan nafsi-nafsi pula.

Contoh paling dekat adalah seorang Sutardji Calzoum Bachri (SCB) — yang sering dijuluki Presiden Licentia Poetica — yang dengan mantapnya memproklamirkan sebuah temuan fenomenal bertajuk “Kredo Puisi” pada tanggal 30 Maret 1973, sebagai berikut (kopas lengkap) :

KREDO PUISI

>> Kata-kata bukanlah alat mengantarkan pengertian, Dia bukan seperti pipa yang menyalurkan air. Kata adalah pengertian itu sendiri. Dia bebas.

>> Kata diumpamakan dengan kursi, kata adalah kursi itu sendiri dan bukan alat untuk duduk. Kalau diumpamakan dengan pisau, dia adalah pisau itu sendiri dan bukan alat untuk memotong atau menikam.

>> Dalam kesehari-harian kata cenderung dipergunakan sebagai alat untuk mengantarkan pengertian. Dianggap sebagai pesuruh untuk menyampaikan pengertian. Dan dilupakan kedudukan yang merdeka sebagai pengertian.

>> Kata-kata harus bebas dari penjajahan pengertian, dari beban idea. Kata-kata harus bebas menentukan dirinya sendiri.

>> Dalam puisi saya, saya bebaskan kata-kata dari tradisi lapuk yang membelenggu seperti kamus dan penjajahan-penjajahan lain seperti moral kata yang dibebankan masyarakat pada kata tertentu dengan dianggap kotor (obscene) serta penjajahan gramatika.

>> Bila kata telah dibebaskan, kreativitas pun dimungkinkan. Karena kata-kata bisa menciptakan dirinya, bermain dengan dirinya sendiri, dan menentukan kemauannya sendiri. Pendadakan yang kreatif bisa timbul karena kata yang biasanya dianggap berfungsi sebagai penyalur pengertian bisa menyungsang terhadap fungsinya. Maka timbullah hal-hal yang tak terduga sebelumnya yang kreatif.

>> Dalam penciptaan puisi saya, kata-kata saya biarkan bebas. Dalam gairahnya karena telah menemukan kebebasan, kata-kata meloncat-loncat dan menari di atas kertas, mabuk dan menelanjangi dirinya sendiri, mondar-mandir dan berkali-kali menunjukkan muka dan belakangnya yang mungkin sama atau tak sama, membelah dirinya dengan bebas, menyatukan dirinya dengan yang lainnya untuk memperkuat dirinya, membalik dan menyungsangkan sendiri dirinya dengan bebas, saling bertentangan sendiri satu sama lainnya karena mereka bebas berbuat semaunya atau bila perlu membunuh dirinya sendiri untuk menunjukkan dirinya bisa menolak dan berontak terhadap pengertian yang ingin dibebankan kepadanya.

>> Sebagai penyair saya hanya menjaga sepanjang tidak mengganggu kebebasannya agar kehadirannya yang bebas sebagai pembentuk pengertian sendiri, bisa mendapat aksentuasi yang maksimal.

>> Menulis puisi bagi saya adalah membebaskan kata-kata, yang berarti mengembalikan kata pada awal mulanya. Pada mulanya adalah kata.

>> Dan kata pertama adalah mantera. Maka menulis puisi bagi saya adalah mengembalikan kata kepada mantera.

Sutardji Calzoum Bachri (SCB) — Bandung, 30 Maret 1973 — (O, Amuk, Kapak, 1981:13-14).

KATA = MANTRA (?)

Seyogyanya, membicarakan “Kredo Puisi” SCB yang membingungkan di atas tentulah sesuatu yang butuh penalaran ekstra dan hendaknya merupakan kajian representatif. Terlebih jika harus menelusuri asal-muasal berikut segudang tendesinya. Namun dalam tulisan ini kemungkinan hanya akan memandang sisi luarnya saja yang berkaitan dengan licentia poetica, berikut potensi dampaknya terhadap eksistensi bahasa. Karena disamping keterbatasan waktu serta bahan acuan, ihwal Kredo Puisi ini juga telah sering dibahas dengan terang-jelas oleh banyak kalangan yang lebih kompeten. Mulai dari penyair, pemerhati sastra-budaya, hingga para kritikus sastra.

Kredo Puisi — dalam kurun waktu tertentu — memang bukanlah isapan jempol belaka, karena serta-merta diikuti dan ditegaskan dengan karya-karya yang sungguh berbeda dari karya penyair lainnya. Dalam karya-karya SCB yang berkiblat pada Kredo Puisi, kita tidak akan menemukan pertalian kata dan makna. Apalagi jika harus mencari sangkut-pautnya secara leksikal ke dalam kamus, tidak ada jalan sama sekali. Karena seluruh kemungkinan itu memang telah dimatikan oleh SCB melalui “kredo” yang dengan sangat tegas menulis bahwa kata-kata dalam puisinya adalah mantra. Tak pelak, dengan licentia poetica berlabel Kredo Puisi, sepak terjang SCB dalam meramu, menjungkir-balikkan, mempreteli, menguliti, hingga mencincang kata demi kata lewat karyanya, seakan tak terbendung. Namun fenomena ini justru mendapat resepsi dan tempat tersendiri dalam lingkup masyarakat bahasa-sastra. Entah karena unik dan menarik, karena tidak tahu dan kurang mengerti, atau mungkin karena benar-benar telah terkena mantra yang disebut dalam Kredo Puisi.

Kemudian timbul pertanyaan: apakah licentia poetica sejenis ini bukannya malah berpotensi membunuh bahasa? Sebab logisnya; ketika kata sudah dilepas-bebaskan dari makna, ketika kamus tak lagi diperlukan dan justru dianggap belenggu, lalu untuk apa lagi ada pelajaran Bahasa Indonesia dalam kurikulum pendidikan? Jika memang kata benar-benar akan dikembalikan menjadi mantra — menurut “Kredo Puisi” kata pertama adalah mantra — apa tidak sebaiknya Fakultas Bahasa dan Sastra di unversitas-universitas seantero negeri diganti saja namanya menjadi Fakultas Dukun dan Mantra? Kalau demikian, apakah tidak sebaiknya lafal butir ketiga dalam Sumpah Pemuda yang berbunyi: “…menjunjung bahasa persatuan…” direvisi saja menjadi “…menjunjung mantra persatuan…”?

Karena menurut artinya sendiri dalam KBBI, “mantra” adalah: (1) perkataan atau ucapan yang memiliki kekuatan gaib (misalnya dapat menyembuhkan, mendatangkan celaka, dan sebagainya); (2) susunan kata berunsur puisi (seperti rima, irama) yang dianggap mengandung kekuatan gaib, biasanya diucapkan oleh dukun atau pawang untuk menandingi kekuatan gaib yang lain. Dalam pembagiannya lagi mantra dikelompokkan atas: (a) mantra kejahatan, yaitu mantra untuk perbuatan-perbuatan jahat dan mencelakai orang lain; (b) mantra keselamatan, yakni mantra untuk menjaga diri dari bahaya; (c) mantra penawar, atau dikenal sebagai mantra pengobatan terhadap orang sakit; (d) mantra pitanggang, kerap dijadikan mantra yang menyebabkan perempuan tidak suka kepada pria atau tidak menikah seumur hidup karena tidak ada laki-laki yang mencintainya.

Lalu, mantra mana yang dimaksud oleh Kredo Puisi? Setelah membaca mantra-mantra temuan Kredo Puisi, pertanyaannya; sudah berapa banyak orang sakit yang berhasil disembuhkan? Sudah berapa kali mencelakai orang akibat sihir-menyihir, teluh-meneluh, santet-menyantet, dan semacamnya? Sudah berapa banyak orang yang terselamatkan dari bahaya? Atau, perempuan mana yang kira-kira “mau” tidak bersuami seumur hidupnya karena terkena mantra Kredo Puisi? Mohon maaf, bukan lantaran tidak mempercayai mitologi dan semacamnya, tetapi jika “mantra” harus dijadikan acuan sejenis licentia poetica dalam karya sastra, barangkali perlu dipertimbangkan untuk menggolongkan paranormal kondang — yang tentu identik dengan mantra — Ki Joko Bodo sebagai “penyair” juga.

Tanpa bermaksud “apa pun” terhadap “siapa pun”, namun licentia poetica bernama Kredo Puisi sungguh telah menanamkan idealisme segar-nanar-bingar-sangar dalam paham pelaku sastra yang lain, terutama generasi selanjutnya. Betapa tidak, bahkan bocah-bocah tingkat sekolah dasar yang baru belajar mengenal huruf pun sudah diharuskan melahap kreasi individu hasil temuan Kredo Puisi melalui buku yang masuk ke sekolah-sekolah atas petuah pemerintah yang mengurusi bidang pendidikan (Depdiknas) — pada masanya.

Lalu bagaimana dampaknya terhadap perkembangan bahasa sendiri? Sungguh miris mengatakannya, karena idealnya pada tingkatan bangku sekolah seperti demikian, semestinya bahasa Indonesia-lah (termasuk di dalamnya EYD) yang harus dijadikan asupan utama. Bukan justru menjejali sekolahan dengan karya-karya sastra yang penuh dengan penyimpangan “orang-orang tertentu” saja. Tengoklah sekarang ke sekeliling kita, betapa kebebasan seorang penemu Kredo Puisi jauh lebih dikenal luas, dipuja-puja, bahkan melegenda di seantero negeri. Bandingkan dengan tokoh-tokoh pelopor bahasa semisal Sutan Takdir Alisjahbana yang dikenal juga sebagai “insinyur bahasa” lantaran kegigihannya memperjuangkan bahasa Indonesia semenjak masih bernama bahasa Melayu. Atau deretan nama pemakalah dalam Kongres Bahasa pertama kali di Solo pada tanggal 25-29 Juni 1938 seperti Ki Hadjar Dewantara, Djamaluddin Adi Negoro, Amir Syarifuddin, Muhammad Yamin, Soekardjo Soerjopranoto, Kusuma St. Pamuntjak, Sanusi Pane, hingga Muhammad Tabrani, yang merupakan salah satu titik tolak lahirnya kaidah-kaidah bahasa Indonesia. Atau Amin Singgih yang berhasil menarik minat para guru, mahasiswa, sastrawan, wartawan, hingga para pengusaha dan birokrat melalui siaran khusus bahasa Indonesia di stasiun TVRI pada tahun 1970-an. Atau “panglima pembakuan bahasa” Anton Moeliono yang juga begitu banyak memberi andil dalam proses pembakuan bahasa Indonesia. Ke mana pula tenggelamnya nama para ahli bahasa semisal J.S. Badudu hingga Ajip Rosidi yang begitu setianya mengkaji, membenahi, lalu memperkenalkan serta mengajak seluruh bangsa untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar? Adakah yang masih sudi untuk sekedar mengingat nama mereka?

Nurel Javissyarqi dalam bukunya “Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri” (2011), berbicara selantang-lantangnya, segamblang-gamblangnya, seterang-terangnya, demi membuka mata dunia terkait Kredo Puisi berikut sekelumit dinamikanya. Upaya membuat melek mata dunia ini disusun dengan sangat runut, aktual dan tajam yang lalu diapresiasi dengan riang-girang-senang oleh banyak kalangan.

Usai menyinggung sedikit tentang Kredo Puisi, pada gilirannya kita kembali bertanya; seperti apakah gerangan resepsi masyarakat bahasa dan sastra sendiri terhadap teka-teki licentia poetica? Tugas inilah yang layak menjadi “PR” utama bagi kita semua. Karena harus diakui bahwa licentia poetica hanya bebas bermain dalam lingkup masyarakat sastra, tidak membaur-lebur dalam ranah masyarakat bahasa. Apa pasal? Tentu saja karena dari sekian banyak definisi dan pengertian, tetap saja tidak ada kejelasan tentang batasan, ketentuan, maupun cakupan dari licentia poetica itu sendiri. Sedangkan para pelaku sastra — khususnya penyair — mau tidak mau, suka tidak suka, harus menerima kenyataan bahwa mereka adalah salah satu ujung tombak sekaligus “penunjuk jalan” dalam hal penggunaan bahasa. Bayangkanlah bagaimana jadinya jika penunjuk jalan yang justru nyasar duluan lalu kencing berdiri di sembarang tempat? Ibarat pepatah, jika pemegang tampuk “ing ngarso sung tulodo” sudah doyan kencing berdiri, kemungkinan konvoi barisan “ing madya mangun karso” hingga “tut wuri handayani” yang membututi di belakang nantinya bukan lagi kencing berlari, tetapi kencing nungging dan jungkir balik.

Jadi, seperti apa dan bagaimana licentia poetica sebenarnya? Untuk pertanyaan ini kemungkinan memang sulit untuk dijawab dengan pasti. Tetapi dalam rangka pencarian, tidak ada salahnya jika kita sama-sama bergelut dan bergumul dengan peluh-keluh demi menilik benar-benar tingkat “kebebasan” kita dalam mencipta karya sastra — yang di dalamnya menggunakan jasa gratis “bahasa” itu. Adapun ilustrasi langsung secara sederhana perihal keterkaitan “licentia poetica” dengan “kaidah EYD” dari sisi struktur atau gaya penulisan, akan coba kita jajal bersama dalam catatan selanjutnya

Demikian catatan selayang pandang terhadap licentia poetica bernama “Kredo Puisi” dari balik kaca mata pengguna bahasa. Jika ternyata dalam catatan ini banyak cara bertutur yang kurang berkenan di hati pihak-pihak tertentu, harap dimaklumi. Sebab sejatinya sama sekali tidak terbersit niat untuk meminus-negatifkan apa pun dan siapa pun. Tulisan ini dibuat semata-mata dengan tujuan membuka ruang diskusi selebar-lebarnya, kepada seluruh masyarakat pengguna bahasa dan penggiat sastra.
Sedikit harapan; semoga putra-putri negeri belum lupa, bahwa dalam kalender setiap tahun, tanggal 28 Oktober masih tetap berwarna merah. Seperti halnya segala anggapan, tanggapan, atau apa pun rupanya terhadap tulisan ini, akan selalu setia dinanti, dengan hati yang juga merah.

Salam Bahasa, Sastra dan Budaya!

Senandung Rindu untuk Ibu

Ibu.. Ribuan hari berlalu Tanpa hadirmu Namun rindu Masih menderu Penuhi ruang kalbu Dan netraku Masih pantulkan kelabu Sekalipun langit itu...